Minggu, 24 Juli 2011

sejarah dan kontribusi pesantren untuk umat


SEJARAH DAN KONTRIBUSI PESANTREN UNTUK UMAT
I. PENDAHULUAN
Pesantren, sebagai institusi pendidikan asli Indonesia yang lebih tua dari Indonesia itu sendiri, adalah 'legenda hidup' yang masih eksis hingga hari ini. Dalam pandangan Dr. Nurcholish Madjid, eksistensi pesantren ini lebih dikarenakan pesantren tidak hanya identik dengan makna keislaman, tetapi karakteristik eksistensialnya mengandung arti keaslian Indonesia (indigenous). Sebagai indigenous, pesantren muncul dan berkembang dari pengalaman sosiologis masyarakat lingkungannya. Ada satu hipotesa bahwa jika Indonesia tidak mengalami penjajahan, mungkin pertumbuhan sistem pendidikan di Indonesia akan mewarisi corak pesantren. Sehingga perguruan-perguruan tinggi yang ada sekarang ini tidak akan berupa ITB, UI, IPB, UGM, UNAIR ataupun lainnya, melainkan mungkin Universitas Tremas, Krapyak, Tebuireng, Bangkalan, Lasem, Sidogiri, Lirboyo dan seterusnya. Kemungkinan ini bisa kita tarik setelah melihat dan membandingkan dengan sistem pendidikan di Barat. Dimana hampir semua universitas terkenal cikal bakalnya adalah perguruan-perguruan yang semula berorientasi keagamaan. Sebagai contoh, universitas-universitas ternama di Amerika seperti Universitas Harvard, dulunya merupakan lembaga keagamaan yang didirikan oleh Pendeta Harvard, kemudian saat ini telah berkembang menjadi universitas modern, ternama dan berpengaruh di dunia.
Sulit disangkal bahwa eksistensi pesantren dari masa ke masa telah memberi kontribusi konkrit dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia. Di era kerajaan Jawa, pesantren menjadi pusat dakwah penyebaran Islam. Di era penjajahan kolonial, pesantren menjadi medan heroisme pergerakan perlawanan rakyat. Di era kemerdekaan, pesantren terlibat dalam perumusan bentuk dan idiologi bangsa serta terlibat dalam revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan. Pesantren sebagai lembaga pendidikan, telah memberikan sumbangsih yang survive dalam sejarah mewujudkan idealisme pendidikan bangsa yang bukan sekedar meningkatkan kualitas sumber daya manusia (human resource) atau aspek intelektualitas an sich, melainkan juga lebih concern dalam mencetak moralitas dan spiritualitas bangsa yang luhur. Sebagai lembaga pendidikan tradisional, pesantren telah menjadi benteng kultural budaya bangsa dari gesekan-gesekan dan pergeseran tata nilai sosial akibat implikasi modernitas. Namun karena pengalaman historis pesantren yang selalu vis a vis dengan pendidikan sekuler yang berbasis skill duniawi, selanjutnya telah membentuk persepsi dan cara pandang pesantren menjadi cenderung eksklusif dengan modernitas. Kondisi seperti ini diperparah dengan kebijakan rezim Orde Baru yang represif dan memarjinalkan pesantren, sehingga keberadaan pesantren menjadi semakin terpinggirkan dan kurang diminati dalam kontestasi dunia pendidikan modern. Bahkan ketika beberapa 'santri' yang terpengaruh idiologi 'imporan' terlibat aksi terorisme, pesantren semakin tersudut dengan tudingan sebagai tempat perkecambahan ekstrimisme.
Selain kontribusi pesantren dalam tiap fase sejarahnya yang spektakuler, pesantren sebagai indigenous, telah membentuk sebuah subkultur unik dan eksotik yang sama sekali berbeda dengan lembaga pendidikan pada umumnya. Sebuah subkultur yang kaya akan nilai-nilai keadaban, nilai-nilai kultural dan khazanah intelektual Islam yang termanifestasikan dalam warisan tak ternilai berupa literatur klasik (kitab kuning) yang menjadi tradisi keilmuannya. Yang menjadi tanda Tanya besar adalah, di tengah kondisi pesantren hari ini yang terpinggirkan dari kontestasi dunia pendidikan modern, dan seiring derasnya arus modernisasi dan globalisasi yang mengakibatkan mentalitas masyarakat semakin hedonis-pragmatis, dapatkah pesantren dengan segala nilai-nilai potensial dan kekayaan khazanah yang dimilikinya, digagas kembali untuk menjadikan pesantren sebagai pusat peradaban Muslim di Indonesia? Dan unsur-unsur serta kekuatan potensial apa saja yang bisa dieksploitasi dan dikembangkan untuk mewujudkan gagasan besar itu?
Untuk menjawab beberapa tanda tanya besar inilah tulisan berikut akan mengkaji pesantren melalui pendekatan historis, sosiologis, antropologis dan fenomenologis, yang dipetakan dalam beberapa sub tema. Dimulai dari membaca historis pesantren dari masa ke masa guna melihat perkembangan dan perannya mewarnai sejarah Nusantara; kemudian memahami karakteristik tradisionalisme pesantren untuk mengenali lebih intim nilai-nilai kulturalnya yang khas, unik dan eksotik. Kemudian dilanjutkan dengan mengamati dialektika pesantren dan modernisme guna mengoreksi sisi kurang dan lebihnya, sebelum kemudian merekonstruksi nilai-nilai potensial dan kekayaan khazanah pesantren untuk ditransformasikan ke pentas masyarakat global. Hasil dari kajian ini diharapkan akan dapat mendemonstrasikan nilai-nilai eksistensial dan karakteristik tradisionalisme pesantren secara utuh dan mendalam, yang pada gilirannya bisa dimanfaatkan untuk menggagas pesantren sebagai pusat peradaban Muslim di Indonesia.
Sejauh ini, sudah banyak pengamat, peneliti maupun penulis melakukan observasi, kajian dan berbicara mengenai kepesantrenan. Namun, karena beberapa alasan, tidak sedikit hasil perhatiannya menjadi terlalu sederhana dan cenderung terhenti pada ciri-ciri atau kategorisasi dan karakteristik lahiriah sebuah pesantren. Tidak jarang pesantren hanya dibaca dan dideskripsikan sebagai lembaga yang dipimpin oleh kiai dalam satu komplek yang bercirikan: masjid atau surau sebagai pusat pengajaran; asrama sebagai domisili santri; dan kitab kuning sebagai buku wajib. Secara faktual kehidupan pesantren dengan dinamika dan tingkat variasi yang sangat bebas, gambaran seperti ini jelas tidak komprehensif. Di sebagian besar tempat, boleh jadi kelima elemen itu terpenuhi, namun di sebagian daerah bisa jadi salah satu elemen itu tidak terpenuhi. Apakah lantas yang terakhir ini tidak layak disebut pesantren? Kalaupun ada pengamatan yang lebih jauh, biasanya hanya menyinggung tipologi pesantren, sistem dan metodologi pendidikan, struktur organisasi, kepemimpinan, dan aspek-aspek dunia pesantren yang 'kasat mata' saja, seperti pesantren salaf,[1] pesantren modern atau pesantren terpadu dll. Kendati pengamatan seperti itu tidak salah, karena secara umum pesantren memang memiliki tipologi yang sama, namun pengamatan yang terjebak pada ciri-ciri dan karakteristik lahiriah yang tidak menyentuh hakikat intrinsik dari suatu obyek, merupakan tindakan simplifikatif, reduktif bahkan distortif. Kegagalan mengangkat sisi sesungguhnya pesantren, akan memunculkan citra dan stigma merugikan, seperti konservatif, eksklusif, pinggiran dan citra-citra lain yang anti peradaban.
Ada beberapa alasan mendasar yang mempengaruhi pengamatan terhadap pesantren menjadi cenderung sederhana. Pertama, pesantren yang semula didirikan untuk mengembangkan Islam telah memiliki dunianya sendiri. Dunia yang sama sekali unik, eksotik dan tidak mudah dimengerti oleh orang di luarnya tanpa bersedia 'memasuki' dunia itu dan melakukan observasi secara langsung dalam rentang waktu yang tidak sebentar. Kedua, pertumbuhan pesantren yang bebas dalam membentuk variasi tipologinya, akan sulit membuat klasisifikasi secara integral. Ketiga, penelitian yang hanya mengacu pada beberapa sampel pesantren, jelas tidak akan sepenuhnya merepresentasikan seluruh variannya yang bebas itu.
Pengamatan mendalam yang menyentuh karakteristik pesantren sebagai institusi pendidikan yang berorientasi pada pembentukan karakter manusia Islami, dengan segala nilai kultural dan kekuatan-kekuatan potensial yang dimilikinya, serta peranannya dalam mewarnai corak bangsa Indonesia, nyaris masih minim dilakukan. Hal ini lumrah, selain karena tiga alasan di atas, membaca hierarki pesantren secara integral dan komprehensif sebagai sebuah kampung peradaban, subkultur, institusi kultural, atau sebagai instrumen pendidikan Islam (tafaqquh fî addîn) tertua di Nusantara, agaknya memang suatu yang tidak mudah —untuk tidak menyebutnya absurd— diperoleh obyektifitas analisis yang benar-benar representatif bila dilakukan dari pihak luar pesantren. Pesantren, dengan jumlah ribuan dan memiliki kekhasan sendiri-sendiri sekaligus variasinya yang bebas dalam membentuk tipologi, serta corak tradisi keilmuannya yang heroik, memerlukan pihak yang benar-benar 'dekat' dengan pesantren, atau 'pihak dalam' yang secara langsung terlibat dengan hierarki pesantren, untuk memungkinkan menghasilkan analisa menyeluruh dan benar-benar representatif. Pendekatan naratif (narrative) yang dilakukan oleh pihak dalam pesantren sendiri akan sangat memungkinkan berhasil memberikan gambaran potret utuh dinamika pesantren, nilai-nilai keadaban, karakteristik kultural dan tradisionalismenya, serta kekuatan-kekuatan potensial yang ada di dalamnya.


II. SEJARAH, PERKEMBANGAN DAN PERAN PESANTREN
Istilah "pesantren" berasal dari kata pe-santri-an, dan ditengarai berasal dari akar kata "santri" yang secara etimologis diartikan sebagai tempat tinggal para santri. Kata "santri" sendiri ada yang menduga berasal dari bahasa Sangsekerta "cantrik" yang berarti orang yang selalu mengikuti jejak gurunya. Ada juga yang menyatakan berasal dari kata "shastri", yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu atau seorang sarjana ahli kitab suci agama Hindu. Terkadang kata santri juga diasumsikan sebagai gabungan kata "saint" (manusia baik) dengan suku kata "tra" (suka menolong), kemudian diartikan tempat pendidikan manusia baik-baik. Kata "santri" juga ditemukan dalam bahasa Tamil, yang berarti guru mengaji. Dari sini kemudian terminologi pesantren dipahami sebagai sebuah komplek dengan lokasi yang umumnya terpisah dari kehidupan sekitarnya yang memiliki lima elemen pokok: kiai, ajengan, nun atau bendara sebagai pemimpin otoritatif; santri sebagai anak didik; asrama sebagai domisili santri; masjid atau surau sebagai pusat pengajaran; dan kitab kuning sebagai buku pegangan wajib. Elemen-elemen ini lebih lengkap dibanding tripusat pendidikan (sekolah, masyarakat, keluarga), yang terdapat pada sistem sekolah pada pendidikan umum.
Belum ada data sejarah secara pasti mengenai asal-muasal keberadaan pesantren di Indonesia. Namun setidaknya terdapat dua teori dalam menelusuri kapan mulai munculnya pesantren. Versi pertama menyatakan, pesantren merupakan sistem kelanjutan perkembangan paralel dari pendidikan masyarakat Hindu di Nusantara dan India. Versi ini didasarkan pada fakta bahwa pra penyebaran Islam di Nusantra, sistem dan bentuk sejenis pesantren sudah digunakan untuk pengajaran agama Hindu, penggemblengan ilmu beladiri, ataupun mengasah spiritual dalam kuil-kuil atau padepokan. Baru setelah Islam hadir dan tersebar di Nusantara, sistem tersebut diadopsi oleh Islam. Versi kedua menyatakan, pesantren berakar dari sistem pengajaran tradisi sufi, zawiyah dan khanaqah, yang merupakan tempat pendidikan khas kaum sufi dalam menginsafi puncak tertinggi ilmu (gnosis ma'rifah) melalui penjernihan pikiran dan hati (tazkiyyah annafs).[2]
Terdapat kesepakatan diantara ahli sejarah Islam bahwa pendiri pesantren pertama adalah dari kalangan Walisanga sekitar abad 15 M., meskipun masih menjadi kontrovesi mengenai siapa dari Walisanga itu yang pertama kali mendirikannya. Ada yang menyebut Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim), Sunan Ampel (Raden Rahmat), dan ada yang menyebut Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah). Akan tetapi yang terkuat adalah pendapat pertama. Kesepakatan ahli sejarah ini tidak menafikan terhadap bukti situs sejarah yang menunjukkan bahwa pesantren tertua di Jawa adalah Pesantren Tegalsari di Ponorogo Jawa Timur yang didirikan oleh Kiai Hasan Besari pada tahun 1742. Sebab yang dimaksud di sini adalah pendirian dalam arti pelembagaan pesantren pertama kali yang mengandung elemen-elemen pokok seperti wujud pesantren saat ini. Sejak saat itulah pesantren mulai mengukir sejarah perkembangannya di bumi Nusantara. Dan secara periodik, perkembangan dan peran yang disumbangkan pesantren dalam mewarnai sejarahnya, dapat dipetakan ke dalam empat periode.
1. Pesantren di Era Walisanga
Era Walisanga dimulai pada awal abad 15 sampai pertengahan abad 16 M. Dimulai dengan Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim, w. 1419), yang merintis pesantren di Leran, Gresik, guna menyiapkan kader-kader terdidik untuk meneruskan estavet perjuangan penyebaran Islam. Disusul putranya, Sunan Ampel (Raden Rahmat, w. 1481), yang mendirikan pesantren di Ampel Denta, daerah rawa-rawa hadiah dari raja Majapahit. Sunan Giri (M. Ainul Yaqin, l. 1442), keponakan Sunan Gresik yang berarti sepupu sekaligus santri Sunan Ampel. Ia membuka pesantren di perbukitan desa Sidomukti selatan Gresik. Disusul Sunan Bonang (Mahdum Ibrahim, w. 1525), putra Sunan Ampel, yang mendirikan pesantren di daerah Bonang, Tuban. Sunan Drajat (Raden Qasim atau Raden Syarifuddin, l. 1470), putra Sunan Ampel yang berarti saudara Sunan Bonang, mendirikan pesantren di desa Drajat, Lamongan. Sunan Kalijaga (Raden Said, 1450-1568), santri Sunan Bonang. Sunan Kudus (Ja'far Shadiq, w. 1550) santri Sunan Kalijaga. Sunan Muria (Raden Umar Said), putra Sunan Kalijaga. Dan Sunan Gunungjati (Syarif Hidayatullah, l. 1448) yang berdakwah di wilayah Cirebon dan Pasundan.
Geografi dakwah Walisanga ini meliputi tiga titik wilayah penting yang terbentang di sepanjang pantai utara Jawa. Mulai Surabaya, Gresik dan Lamongan di Jawa Timur; Demak, Kudus dan Muria di Jawa Tengah; hingga Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual Muslim yang menjadi pembaharu masyarakat di masanya. Di periode ini, peran pesantren tidak hanya menjadi sentral pendidikan dan penyebaran Islam semata, melainkan juga telah bergerak di bidang-bidang sosial kemasyarakatan lainnya, mulai dari mengenalkan ilmu bercocok tanam, kesehatan, perniagaan, kesenian, kebudayaan hingga pemerintahan. Melalui pesantren sebagai pusat gerakannya, Walisanga mengenalkan pelbagai bentuk peradaban yang sama sekali baru. Sehingga geliat pesantren di era Walisanga ini sekaligus menandai berakhirnya dominasi budaya Hindu-Budha di Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam.
2. Pesantren di Era Penjajahan Kolonial
Sebagai negeri Zamrud Katulistiwa dengan kekayaan hasil bumi berupa rempah-rempah yang senilai emas waktu itu, menjadikan Nusantara sebagai oase yang diperebutkan bangsa-bangsa penjajah. Kolonialisme dan imperalisme merajalela di Nusantara sejak pendaratan armada Portugis di Malaka tahun 1511, disusul Spanyol pada tahun 1527, disusul ekspedisi belanda pada tahun 1559 yang pada tahun 1602 memberikan hak monopoli perdagangan dan kolonial kepada VOC (Verenigde Oostindische Compagnie) di wilayah Hindia-Belanda. Tahun 1816 pemerintahan Belanda kembali berhasil memulihkan imperiumnya di Hindia-Belanda pasca pendudukan Inggris mulai tahun 1811 yang kemudian mengambil alih hak monopoli VOC sampai tahun 1942 setelah dikalahkan oleh Jepang yang menjajah Nusantara hingga tahun 1945.
Hampir 4,5 abad Nusantara berada di bawah cengkraman bangsa-bangsa tiran. Dalam pada itu, secara umum kondisi dunia pendidikan di Nusantara berada di bawah kendali penjajah. Kendati VOC membuka sekolah-sekolah baru —selain mengambil alih lembaga-lembaga pendidikan yang sebelumnya berstatus milik kolonial Portugis—, namun orientasinya hanya untuk memenuhi tenaga kerja murah dan terlatih dari kelas aristokrat pribumi (kaum ningrat dan priyayi) untuk kepentingan koloninya. Orientasi pendidikan VOC yang bersifat kepentingan skill duniawi inilah yang menjadi alasan kenapa pesantren yang secara sejarah lebih dulu mengakar di Nusantara, dipandang sebelah mata dan tidak dimasukkan dalam perencanaan pendidikan umum VOC. Pendidikan pesantren dianggap tidak memiliki orientasi jelas selain hanya mengarah pada pembinaan moralitas dan ukhrawi. Di era ini, pesantren dihadapkan pada situasi sulit, lebih-lebih pada era penjajahan Belanda yang sangat mencekik ruang gerak pesantren karena menyadari keberadaannya menjadi ancaman paling ditakuti terhadap supremasi kolonial Belanda. Belanda bahkan menetapkan resolusi pada
1. Pesantren di Era Walisanga
Era Walisanga dimulai pada awal abad 15 sampai pertengahan abad 16 M. Dimulai dengan Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim, w. 1419), yang merintis pesantren di Leran, Gresik, guna menyiapkan kader-kader terdidik untuk meneruskan estavet perjuangan penyebaran Islam. Disusul putranya, Sunan Ampel (Raden Rahmat, w. 1481), yang mendirikan pesantren di Ampel Denta, daerah rawa-rawa hadiah dari raja Majapahit. Sunan Giri (M. Ainul Yaqin, l. 1442), keponakan Sunan Gresik yang berarti sepupu sekaligus santri Sunan Ampel. Ia membuka pesantren di perbukitan desa Sidomukti selatan Gresik. Disusul Sunan Bonang (Mahdum Ibrahim, w. 1525), putra Sunan Ampel, yang mendirikan pesantren di daerah Bonang, Tuban. Sunan Drajat (Raden Qasim atau Raden Syarifuddin, l. 1470), putra Sunan Ampel yang berarti saudara Sunan Bonang, mendirikan pesantren di desa Drajat, Lamongan. Sunan Kalijaga (Raden Said, 1450-1568), santri Sunan Bonang. Sunan Kudus (Ja'far Shadiq, w. 1550) santri Sunan Kalijaga. Sunan Muria (Raden Umar Said), putra Sunan Kalijaga. Dan Sunan Gunungjati (Syarif Hidayatullah, l. 1448) yang berdakwah di wilayah Cirebon dan Pasundan.
Geografi dakwah Walisanga ini meliputi tiga titik wilayah penting yang terbentang di sepanjang pantai utara Jawa. Mulai Surabaya, Gresik dan Lamongan di Jawa Timur; Demak, Kudus dan Muria di Jawa Tengah; hingga Cirebon di Jawa Barat. Mereka adalah para intelektual Muslim yang menjadi pembaharu masyarakat di masanya. Di periode ini, peran pesantren tidak hanya menjadi sentral pendidikan dan penyebaran Islam semata, melainkan juga telah bergerak di bidang-bidang sosial kemasyarakatan lainnya, mulai dari mengenalkan ilmu bercocok tanam, kesehatan, perniagaan, kesenian, kebudayaan hingga pemerintahan. Melalui pesantren sebagai pusat gerakannya, Walisanga mengenalkan pelbagai bentuk peradaban yang sama sekali baru. Sehingga geliat pesantren di era Walisanga ini sekaligus menandai berakhirnya dominasi budaya Hindu-Budha di Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam.


2. Pesantren di Era Penjajahan Kolonial
Sebagai negeri Zamrud Katulistiwa dengan kekayaan hasil bumi berupa rempah-rempah yang senilai emas waktu itu, menjadikan Nusantara sebagai oase yang diperebutkan bangsa-bangsa penjajah. Kolonialisme dan imperalisme merajalela di Nusantara sejak pendaratan armada Portugis di Malaka tahun 1511, disusul Spanyol pada tahun 1527, disusul ekspedisi belanda pada tahun 1559 yang pada tahun 1602 memberikan hak monopoli perdagangan dan kolonial kepada VOC (Verenigde Oostindische Compagnie) di wilayah Hindia-Belanda. Tahun 1816 pemerintahan Belanda kembali berhasil memulihkan imperiumnya di Hindia-Belanda pasca pendudukan Inggris mulai tahun 1811 yang kemudian mengambil alih hak monopoli VOC sampai tahun 1942 setelah dikalahkan oleh Jepang yang menjajah Nusantara hingga tahun 1945.
Hampir 4,5 abad Nusantara berada di bawah cengkraman bangsa-bangsa tiran. Dalam pada itu, secara umum kondisi dunia pendidikan di Nusantara berada di bawah kendali penjajah. Kendati VOC membuka sekolah-sekolah baru —selain mengambil alih lembaga-lembaga pendidikan yang sebelumnya berstatus milik kolonial Portugis—, namun orientasinya hanya untuk memenuhi tenaga kerja murah dan terlatih dari kelas aristokrat pribumi (kaum ningrat dan priyayi) untuk kepentingan koloninya. Orientasi pendidikan VOC yang bersifat kepentingan skill duniawi inilah yang menjadi alasan kenapa pesantren yang secara sejarah lebih dulu mengakar di Nusantara, dipandang sebelah mata dan tidak dimasukkan dalam perencanaan pendidikan umum VOC. Pendidikan pesantren dianggap tidak memiliki orientasi jelas selain hanya mengarah pada pembinaan moralitas dan ukhrawi. Di era ini, pesantren dihadapkan pada situasi sulit, lebih-lebih pada era penjajahan Belanda yang sangat mencekik ruang gerak pesantren karena menyadari keberadaannya menjadi ancaman paling ditakuti terhadap supremasi kolonial Belanda. Belanda bahkan menetapkan resolusi pada tahun 1825 yang membatasi jumlah jamaah haji serta mengisolasi kontak umat Muslim Nusantara dengan negara-negara Islam. Praktis kondisi seperti ini menyebabkan pertumbuhan dan pekembangan pesantren menjadi nyaris vakum dan terpinggirkan.
Meskipun dalam posisi terpinggirkan, pesantren terus mengembangkan dirinya dan menjadi basis pergerakan perlawanan rakyat melawan penjajah koloni dan menjadi pusat pendidikan umat Islam di pedesaan sampai pada masa revolusi kemerdekaan. Dalam eskalasi penindasan Belanda seperti inilah kemudian kaum santri berontak mengadakan perlawanan. Antara tahun 1820-1890, telah terjadi pemberontakan kaum santri di Indonesia secara massif, yaitu pemberontakan di Aceh yang dipimpin Tengku Umar dan Tengku Cik Di Tiro, pemberontakan kaum Padri di Sumatra dipimpin Imam Bonjol, pemberontakan Tarekat Sadziliyah di Banten yang dikenal dengan Revolusi Petani sebagai reaksi atas aksi Tanam Paksa yang terapkan Belanda, pemberontakan Diponegoro di Jawa Tengah, dll.
Akhir abad 19 segera setelah Belanda mencabut resolusinya, gelombang jamaah haji membludak disertai intensitas rihlah intelektual santri-santri Nusantara ke Makkah dan Timur Tengah sebagai pusat Islam. Kondisi ini menandai babak baru sejarah perkembangan pesantren di Nusantara, karena kepulangan santri-santri dari Makkah dan Timut Tengah membuka tersedianya guru-guru pengajar Islam dengan kuantitas dan kualitas ilmu yang tinggi, seperti Syaikh Ahmad Khathib Alminangkabawi, Syaikh Ahmad Khathib Assambasi, Syaikh Nawawi Albantani, Syaikh Mahfudh Attarmasi, Syaikh Khalil Bangkalan, dll. yang kepada mereka inilah umumnya intisab keilmuan kiai-kiai dan pesantren Indonesia bertemu.
Memasuki abad 20, yakni era Ratu Juliana berkuasa di kerajaan Belanda, Van Deventer yang menjabat sebagai Gubernur Jendral Hindia-Belanda menerapkan politik etis (Etische Politiek) dengan motto "de Eereschuld" (hutang kehormatan). Sejak diterapkan politik etis ini, atas usulan Snouck Hurgronje, Belanda semakin radikal membuka sekolah-sekolah sekuler Barat dengan tetap memakai pola stratifikasi sosial aristokrat pribumi, untuk memperluas pengaruh imperium Belanda di Nusantara sekaligus untuk mengerdilkan pengaruh pesantren. Sebagai respon atas upaya Belanda tersebut, para kiai mulai menerapkan sistem pendidikan madrasi di pesantren-peantren yang diadopsi dari madrasah-madrasah semasa mereka rihlah intelektual di Makkah. Pada periode ini, beberapa tokoh modernis Muslim Indonesia juga mulai mendirikan lembaga pendidikan Islam, seperti Sekolah Adabiyah di Padang tahun 1909, lembaga Al-Irsyad yang didirikan Ahmad Surkati tahun 1914, lembaga pendidikan Qismul Arqa yang didirikan KH. Ahmad Dahlan tahun 1920, dan lain-lain. Pada awal-awal abad ini pula lahir organisasi-organisasi keislaman, seperti Muhammadiyah yang didirikan KH. Ahmad Dahlan tahun 1912, PERSIS (Persatuan Islam) yang didirikan Haji Zamzam, Haji Muhammad Yunus dan Ahmad Hassan tahun 1923, NU yang didirikan KH. Hasyim Asy’ari tahun 1926, dll.
Pada era penjajahan Jepang (1942-1945), demi menyatukan visi dan misi gerakan Islam, organisasi-organisasi tersebut melebur menjadi satu dalam wadah MASYUMI (Majlis Syura Muslimin Indonesia). Pada masa revolusi fisik, ketika Jepang memobilisir tentara PETA (Pembela Tanah Air) guna melawan Belanda, para kiai membentuk Laskar Hisbullah dan Laskar Sabilillah, di mana kalangan santri sebagai komponen utamanya yang kelak menjadi cikal bakal TNI (Tentara Nasional Indonesia). Menjelang kemerdekaan, kaum santri seperti KH. Wahid Hasyim, KH. Agus Salim, Abdul Kahar Mudzakkir dan Abikoesno Tjokrosoejono yang merupakan empat dari Panitia Sembilan yang dibentuk BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia)[3] juga terlibat dalam perumusan Pancasila sebagai idiologi kompromis anak bangsa.

3. Pesantren di Era Kemerdekaan
Tanggal 15 Agustus 1945, enam hari setelah dijatuhkannya dua bom atom di Hiroshima dan Nagasaki oleh Amerika pada 6 dan 9 Agustus yang merenggut hampir 200.000 nyawa warga Jepang, memaksa Kaisar Jepang, Hirohito, menyatakan menyerah tanpa syarat kepada pasukan sekutu sekaligus mengakhiri episode Perang Dunia II sejak tahun 1939 itu. 'Musibah' Hiroshima-Nagasaki ini membawa hikmah bagi bangsa Indonesia. Dua hari setelah pernyataan menyerah Jepang itu, tepatnya 17 Agustus 1945, dengan berkat dan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, bangsa Indonesai memproklamirkan kemerdekaannya. Sebuah pernyataan umum rakyat Indonesia sebagai suatu bangsa yang memiliki tanah air dan negara, Indonesia, yang akan bersatu melawan dan menghapuskan segala bentuk penjajahan.
Pada masa-masa awal kemerdekaan, para kiai dan santri terlibat langsung dalam revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Resolusi Jihad yang dihasilkan oleh ulama se Jawa-Madura pada musyawarah 21-22 Oktober 1945 di Surabaya, dan fatwa KH. Hasyim Asy'ari tentang "hukumnya wajib mempertahankan kemerdekaan", telah mengobarkan semangat juang dan patriotisme para santri dari berbagai pesantren untuk bergerak menuju Surabaya melawan tentara Sekutu pada peristiwa 10 November 1945. Kiai Mahrus Ali dari pesantren Lirboyo misalnya, mengirimkan santri-santrinya bertempur ke Surabaya, setelah sebelumnya memimpin langsung pelucutan senjata tentara Jepang di Kediri.
Di awal-awal kemerdekaan, para kiai dan alumni pesantren terus memainkan perannya di hampir setiap lini perjuangan mengisi kemerdekaan. Seperti KH. Wahid Hasyim, KH. Kahar Muzakkir dan lain-lain menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan, KH. Imam Zarkasyi menjadi anggota Dewan Perancang Nasional, KH. Idham Khalid menjadi wakil Perdana Menteri dan ketua MPRS dll. Perlu dicatat, bahwa jabatan-jabatan itu bukan diraih untuk tujuan politik sesaat, tapi untuk sarana membela dan memperjuangkan agama, negara dan bangsa.
Selesai perang kemerdekaan, pesantren dihadapkan dengan kaum Komunis yang merongrong integritas NKRI dan Pancasila hingga puncaknya melutes revolusi G 30 S 1965 yang merenggut nyawa enam jendral dan seorang letnan muda. Pada era komunisme ini, kalangan santri bersama TNI dan segenap komponen anti komunisme berada di garda terdepan dalam menumpas komunis dari bumi Pancasila. Perjuangan kalangan pesantren ini didasari komitmen bahwa NKRI dan Pancasila sebagai idiologinya, adalah final dari segala upaya membentuk suatu negara di Indonesia. Siapapun yang merongrongnya, maka harus berhadapan dengan kalangan pesantren. Diperkirakan 500.000 - 1.000.000 nyawa melayang dalam penumpasan komunis ini. Sebuah tragedi tragis paling berdarah sepanjang sejarah anak bangsa Indonesia.
Di era Orde Baru, di tengah maraknya pembangunan fisik yang disertai dengan proses marginalisasi peran politik umat Islam, kiai dan pesantren tetap memainkan perannya dalam membangun bangsa. Ekses pembangunan fisik yang tidak berangkat dari orientasi pembentukan karakter (character building) adalah dekadensi moral, korupsi, monopoli, tindak kekerasan dan lain-lain. Akibatnya, lembaga pendidikan, khususnya sistem sekolah umum tidak lagi menjanjikan keshalehan sosial dan moral anak didik. Dalam kondisi seperti inilah pesantren tampil sebagai alternatif penting.
Ketika terjadi upaya convergensi ilmu pengetahuan agama dan umum di pesantren, medan distribusi alumni pesantren menjadi semakin luas. Penyeberangan santri ke perguruan tinggi umum menjadi cukup intensif. Para santri ini kemudian mengembangkan kajian-kajian agama secara informal dan intensif yang melibatkan mahasiswa-mahasiswa yang tidak memiliki back ground agama. Pergerakan mahasiswa seperti HMI, PMII, IMM, Intensifikasi Aktifitas Masjid Kampus dan lain-lain yang marak pada dekade 70-an dan 80-an, tidak dapat dipisahkan dari peran dan kontribusi alumni-alumni pesantren.
Demikianlah, terlalu banyak untuk disebutkan secara detail fakta-fakta keterlibatan peran kiai dan para santri pesantren dalam ikut mempertahankan dan mengisi kemerdekaan Republik ini. Namun ironisnya, karena bias politik tertentu, jasa dan peran yang sedemikian signifikan kurang memperoleh atensi dalam catatan resmi sejarah perjuangan bangsa yang ditulis oleh para sejarawan Indonesia. Kendati para founding father Indonesia memiliki perhatian pendidikan yang tidak hanya berorientasi mencerdaskan skill duniawi saja, melainkan "bagunlah jiwanya, bangunlah badannya....", namun dengan kebijakan sekuler pemerintah Orde Lama yang melakukan penyeragaman atau pemusatan pendidikan nasional yang tentu saja menganut sistem Barat ala Snouck Hurgronje, eksistensi pesantren menjadi terpinggirkan dengan tidak dimasukkan sebagai lembaga pendidikan formal nasional. Kondisi seperti ini diperparah dengan kebijakan Orde Baru yang deskriminatif dan memarjinalkan pesantren hingga mengakibatkan pesantren kurang diminati di tengah kontestasi dunia pendidikan modern. Meskipun kebijakan-kebijakan selama dua orde itu menyudutkan pesantren dan anak didiknya dalam memperoleh kesempatan kiprah sosial, namun di sisi lain justru semakin meneguhkan kemandirian pesantren dalam mempertahankan eksistensinya.
4. Pesantren di Era Reformasi
Krisis moneter Asia yang menyebabkan ekonomi Indonesia terpuruk dan semakin memuncaknya ketidakpuasan masyarakat Indonesia terhadap pemerintahan rezim Orde Baru, mendorong gelombang demonstrasi besar-besaran di berbagai wilayah Indonesia menuntut Presiden Soeharto mundur dan reformasi politik secara total. Era reformasi ini dimulai sejak Soeharto bersedia lengser pada 21 Mei 1998 dari kursi presiden yang telah didudukinya sejak 1966. Era reformasi ini diwarnai keterkejutan sosial cukup histeris. Ibarat orang-orang yang terkurung puluhan tahun, kemudian menyaksikan tembok kokoh yang memenjarakannya runtuh. Mereka pun berhambur keluar dan mendapati suasana yang sama sekali baru, penuh kebebasan dan keterbukaan yang nyaris tak terbatas. Euvoria sosial seperti ini kerap membuat orang kurang bisa berpikir jernih. Semarak menuntut hak tapi lupa kewajiban, giat mengkritik tanpa mampu menawarkan solusi dll.
Begitulah, segera setelah era reformasi berlangsung, pihak-pihak yang selama rezim Orde Baru 'terkurung', berhamburan ke kancah pergulatan publik. Pendidikan pesantren yang selama ini dianaktirikan, mulai menyuarakan tuntutan status diakui ijazah lulusannya. Dalam dunia politik, munculnya puluhan partai baru dengan berbagai latar belakang sosial dan kepentingan pada pemilu 1999, juga contoh ekspos euvoria sosial ini. Kalangan pesantren yang selama ini mayoritas berafiliasi ke PPP, kemudian rame-rame mendirikan PKB, PKU, PNU dan yang terakhir PKNU, meski nasib sebagian diantaranya harus 'punah' di tengah jalan.
Naiknya Gus Dur (KH. Abdurrahman Wahid) ke kursi presiden pada pemilu pertama era reformasi ini, menegaskan kepada dunia bahwa putra bangsa yang terlahir dari rahim pesantren mampu tampil memimpin sebuah negara. Kendati Gus Dur tidak berhasil menyelesaikan lima tahun masa jabatannya, tidak berarti ia gagal dalam menjalankan tugas kepemimpinannya. Bahkan menurut Greg Barton, Gus Dur sebenarnya patut menerima lebih banyak pujian daripada yang telah ia terima. Jika orang merasa kecewa dengan masa kepresidenan Gus Dur, lebih karena mereka tidak memahami tingkat tekanan yang dialami presiden dari suatu bangsa besar di awal peralihan dari pemerintahan otoriter-militer ke demokrasi.[4] Tokoh-tokoh lain di era reformasi yang tidak lepas dari peran pendidikan pesantren, baik langsung maupun tidak langsung adalah Nurcholis Madjid, Rektor Paramadina, Hasyim Muzadi Ketua PBNU, Hidayat Nur Wahid, Presiden PKS dll. Di luar prestasi pesantren yang dipentaskan kaum santri di era reformasi ini, seiring merebaknya isu terorisme yang melibatkan beberapa gelintir alumni pesantren, pesantren sempat menjadi kambing hitam dengan tudingan sebagai sarang teroris. Stigma negatif pesantren sebagai tempat perkecambahan radikalisme dan ekstrimisme Islam pun terlanjur menjadi opini umum di luar pesantren, sebelum kemudian NU periode KH. Hasyim Muzadi berhasil meyakinkan masyarakat dunia bahwa pesantren di Indonesia tidaklah seperti yang dipersepsikan.
Pada era reformasi ini pula progresifitas pemikiran dan intelektualitas santri menggeliat di beberapa pesantren besar, di mana sebelumnya cenderung vakum karena setiap forum diskusi pesantren yang melibatkan massa besar, selalu dicurigai oleh rezim Orde Baru. Di pesantren Lirboyo, dalam beberapa tahun terakhir, dapat dipastikan santri tiap menjelang tamat 3 Aliyah, menerbitkan karya tulis ilmiah lebih dari satu buku. Forum-forum diskusi antar pesantren juga kian menampakkan intensitas yang menggairahkan, khususnya di Jawa Timur. Seperti kegiatan musyawarah, seminar, bahtsul masa'il, dll. FMPP (Forum Musyawarah Pondok Pesantren) dan FMP3 (Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri) adalah forum bahtsul masa'il dengan skala kegiatan pesantren-pesantren se Jawa-Madura dengan agenda bahtsul masa'il minimal dua kali dalam satu tahun. Fatwa kontroversial keharaman Facebook di pertengahan 2009 dan fatwa keharaman rebonding di awal 2010, adalah diantara sekian 'gebrakan' ilmiah forum-forum bahtsul masa'il antar pesantren ini. Sekalipun progresifitas intelektual kalangan pesantren ini diwarnai dengan munculnya sebagian santri yang kemudian berpola pikir liberalisme, pluralisme dan sekulerisme, namun agaknya hal itu lebih merupakan euvoria intelektualitas santri dan proses ke pematangan pemikiran yang belum benar-benar selesai.
Demikianlah, tanpa menutup mata dengan kenyataan beberapa pesantren kecil yang kemudian gulung tikar, secara umum sampai saat ini jumlah pesantren di Indonesia terus mengalami peningkatan. Berdasarkan data statistik Departemen Agama, pada 1977 jumlah pesantren sekitar 4.195 dengan jumlah santri sekitar 677.384 orang. Pada tahun 1981, tercatat ada sekitar 5.661 pesantren dengan jumlah santri 938.397. Pada tahun 1985, jumlah pesantren naik menjadi 6.239 dengan jumlah santri sekitar 1.084.801. Pada tahun 1997, Departemen Agama sudah mencatat 9.388 pesantren dengan jumlah santri 1.770.768. Dan pada tahun 2004 jumlah pesantren mencapai 14.647 dengan total santri sekitar 3.289.141 dan jumlah alumninya mencapai puluhan juta orang yang tersebar di seluruh pelosok Tanah Air. Sedangkan menurut data statistik Departemen Agama pada tahun 2007, jumlah pesantren di Jawa mencapai 10.239 pesantren. Meliputi Jawa Timur 4.404 pesantren, Jawa Tengah 2.187 pesantren, Jawa Barat 3.561 pesantren, dan Jakarta 87 pesantren.
Uraian historis di atas menggambarkan betapa pesat perkembangan dan peran pesantren dalam mewarnai sejarah perjuangan bangsa Indonesia. Pada era kerajaan Islam Jawa, pesantren menjadi pusat penyebaran keislaman, pada era penjajahan kolonial pesantren menjadi basis pergerakan dan perlawanan rakyat, pada era kemerdekaan pesantren turut merumuskan bentuk dan idiologi Indonesia dan setia mempertahankan kemerdekaan, dan pada era reformasi pesantren menjadi benteng pertahanan nilai-nilai budaya bangsa serta mewarnai corak politik Indonesia. Pesantren, dengan demikian adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan bangsa ini. Akan sangat kehilangan konteks historisnya apabila hari ini pesantren-pesantren hanya menjadi menara gading yang terpinggirkan dan terasing dari kehidupan masyarakat modern. Di luar itu, suatu yang naif jika kemudian peran dan potensi pesantren dalam membangun bangsa ini, baik di masa lalu maupun di masa depan, dinafikan. Sangat tidak perlu mempertanyakan apa peran dan fungsi pesantren dalam membangun negara ini, yang justru perlu dipertanyakan adalah apa yang telah dilakukan pemerintah dalam membangun pesantren sejauh ini. Hasil kalkulasi inilah hutang bangsa kepada pesantren yang sepertinya sulit dibayar.
III. KARAKTERISTIK TRADISIONALISME PESANTREN
Islam hadir di Nusantara dalam bentuk pandangan hidup dengan semangat intelektualisme dan spiritualisme, bukan sebagai gerakan politik. Terbukti raja-raja di Jawa dan luar Jawa masuk Islam tanpa proses peperangan.[5] Pandangan hidup yang membawa konsep baru tentang ketuhanan, kemanusiaan, kehidupan duniawi-ukhrawi, kemasyarakatan, keadilan, dan lain-lain, kemudian merubah pandangan hidup masyarakat Nusantara yang sebelumnya didominasi oleh mitologi yang rapuh Hindu-Budha.
Pandangan hidup Islam mustahil serta merta dipahami masyarakat hanya dengan sekedar membaca dua kalimah syahadat. Ia memerlukan proses transformasi konsep-konsep ke dalam pikiran masyarakat. Pemahaman suatu konsep hanya efektif dilakukan melalui proses belajar mengajar. Pesantren dalam hal ini berperan aktif mentransformasikan konsep-konsep Islam ke tengah-tengah masyarakat. Proses islamisasi pandangan hidup yang statis menjadi dinamis ini, dilakukan melalui pendekatan akulturasi. Yaitu penyesuaian Islam dengan kultur budaya setempat. Hal ini bisa dilihat dari istilah yang digunakan untuk sistem pesantren tidak sepenuhnya merujuk kepada Islam. Sebutan untuk pelajar yang mencari ilmu bukan murîd seperti dalam tradisi sufi, bukan thâlib atau tilmîdz seperti dalam bahasa Arab, tapi santri yang berasal dari luar Islam. Lembaga tempat belajar itupun mengikuti akar kata "santri" yang lantas menjadi pe-santri-an dan pesantren. Di Malaysia dan Thailand lembaga ini dikenal dengan nama pondok, merujuk kepada bahasa Arab "funduq" yang berarti hotel, penginapan atau asrama. Dalam strategi dakwah, secara permisif dan elegan pesantren juga bersedia menghargai kearifan tradisi dan budaya lokal. Tradisi dan budaya yang telah mapan menjadi nilai normatif masyarakat dan secara substansial tidak bertentangan dengan syariat, akan diakulturasikan dengan ruh keislaman. Dalam konteks seperti ini, akulturasi dipahami sebagai penengah antara ketaatan beragama yang bersifat dogmatis dengan penghargaan terhadap nilai-nilai tradisi budaya lokal yang bersifat fleksibel dan berakar pada kolektifitas. Hal ini bisa dilihat dalam model pendekatan dakwah Walisanga dan ulama-ulama terdahulu.
Dari sinilah karakter pesantren terbentuk menjadi sebuah lembaga pendidikan keislaman yang asli Idonesia (indegenous). Indegenousitas pesantren ini menjadikan karakter tradisi pesantren sebagai lembaga pendidikan yang unik, eksotik dan berbeda dengan lembaga pendidikan pada umumnya. Setidaknya keunikan karakteristik ini bisa dilihat dalam lima hal: lingkungan fisiknya; pandangan hidup pesantren; metodologi pengajaran; tradisi keilmuan; dan idiologi dan sikap pesantren.
1. Karakteristik Lingkungan Pesantren
Lingkungan pesantren yang secara fisik bercirikan kiai, santri, masjid atau surau, kediaman kiai, asrama santri dan madrasah, membentuk suatu kehidupan komunitas unik (subkultur) dari kehidupan umumnya yang sengaja didesain secara integral untuk kepentingan pendidikan. Dalam lingkungan seperti ini, terbangun beberapa tata nilai yang unik dan khas pesantren seperti dimensi waktu yang unik, watak struktur pendidikan yang populis, kemandirian, dan hubungan kiai-santri yang unik pula.
Ritme aktifitas di lingkungan pesantren berputar secara periodik berdasarkan shalat lima waktu dan jam pemberian pengajian. Dengan sendirinya, pengertian waktu pagi, siang, sore dan malam di pesantren akan berlainan dengan pengertian di luar pesantren. Ritme waktu yang dipusatkan pada kegiatan pengajian dan waktu shalat ini, menyebabkan seluruh kegiatan santri tunduk dan mengikutinya. Karena inilah sering dijumpai santri menanak nasi atau mencuci di tengah malam, atau bahkan tidur di pagi hari yang tidak lazim di luar pesantren.
Watak struktur pendidikan pesantren yang bersifat populis: tidak mengenal seleksi strata sosial mana pun, dan tanpa memberlakukan hambatan administratif dan finansial, juga memaksa pesantren melenturkan penerimaan anak didik dan waktu lamanya masa nyantri. Tidak ada ukuran atau batasan tertentu mengenai mulai dan lamanya masa belajar di pesantren. Sejak seorang telah siap berada di pesantren dan masih merasa perlu bimbingan dan pengajian kiai, sejak saat dan selama itu pula ia merasa tidak ada keharusan menyelesaikan belajar di pesantren. Penentuannya dikembalikan kepada santri itu sendiri, sehingga seringkali satu-satunya ukuran adalah finansial atau panggilan hidup keluarga. Watak populis ini pula yang mendorong sebagian masyarakat memilih pesantren sebagai tempat pendidikan alternatif anak-anak yang mengalami drop out sekolah atau lainnya, sehingga menjadikan lingkungan pesantren ibarat bengkel yang akan 'mereperasi' anak-anak yang bermasalah.
Kemandirian pesantren tercermin dari dua sudut penglihatan: dari fungsi kemasyarakatan pesantren, dan dari pengelolaan pendidikan yang dikembangkan pesantren. Dengan prinsip amar ma'ruf nahi munkar, pesantren terdorong menegakkan kebenaran agama sebagai panggilan ibadah. Dorongan ini menggerakkan nilai-nilai transformasi kultural ke tengah masyarakat sekaligus menempatkan pesantren secara intensif dalam 'mengoreksi' jalannya kehidupan masyarakat. Dalam pengelolaan pendidikan, kelengkapan ritus, atribut, dan bangunan sosial lainnya, kehidupan pesantren dapat berlangsung tanpa tergantung uluran tangan pihak lain. Banyak unsur yang mendukung kemandirian ini. Seperti sikap hidup para santri yang bersedia mengabdikan diri di pesantren meski tanpa memperoleh imbalan, dan kesediaannya untuk tinggal di lingkungan dalam kondisi fasilitas serba terbatas, praktis menjadikan kebutuhan finansial pesantren sangat kecil. Kebersediaan seperti ini didasari satu kesadaran bahwa pesantren merupakan lingkungan perjuangan sebagai 'kawah candra dimuka' untuk menempa mentalitas. Kesadaran ini pula yang mendorong kecenderungan bertirakat sebagai usaha batin untuk mencapai keluhuran budi dan tercapainya cita-cita.
Pesantren sebagai subkultur unik dengan komunitas kiai, ustadz dan santri seperti di atas, kiai memegang otoritas mutlak dalam segala hal, yang kepemimpinannya sering diwakilkan kepada santri senior atau lurah pondok. Kedudukan yang dipegang kiai adalah kedudukan ganda, sebagai pengasuh sekaligus sebagai pemilik pesantren. Secara kultural, kedudukan ini mirip dengan kedudukan bangsawan foedal yang di Jawa biasa dikenal dengan nama kanjeng. Ia dianggap memiliki sesuatu yang tidak dimiliki orang lain yang bersifat supranatural. Bahkan di pesantren ada adegium dalam bahasa Jawa yang menggambarkan kedudukan kiai atau guru itu ibarat 'Alqur'an brodol'. Artinya kekurangan-kekurangan kiai atau guru yang bersifat manusiawi, tetap memiliki keistimewaan yang harus dimuliakan jika tidak ingin kuwalat. Di atas kewibawaan moral dan kharisma inilah, kiai berperan sebagai 'penyelamat' santri dari kemungkinan melangkah ke arah kesesatan. Sedemikian besar kewibawaan ini, santri seumur hidup akan terikat dengan kianya, minimal sebagai sumber inspirasi dalam kehidupan pribadinya.
Ada beberapa faktor yang menjadikan kiai memperoleh kedudukan kharismatik di mata santri ini. Pertama, pengaruh tradisi sufi yang menyakini guru (dalam arti yang sebenarnya) adalah figur yang menjadi wasilah murîd dalam perjalanan suluknya. Keyakinan ini menuntut kepatuhan mutlak seorang murîd kepada kehendak dan kepentingan guru. Khidmah atau pelayanan murîd kepada guru dianggap sebagai tugas terhormat untuk memperoleh emanasi barakah atau ridla seorang guru. Adab seperti ini merupakan refleksi dari pernyataan Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra., "aku adalah budak seseorang yang mengajariku walaupun satu huruf", dan kisah nabi Musa yang karena ketidakpatuhannya terhadap Hidlir, ia harus rela berpisah dengan gurunya itu. Kedua, pengaruh keyakinan bahwa ulama adalah warâtsah al'anbiyâ' (pewaris para nabi) seperti yang dinyatakan dalam Hadits nabi. Kenyakinan ini menempatkan kiai sebagai figur terhormat yang tidak terwakilkan oleh kelompok masyarakat lain dalam peran sebagai penjaga ilmu-ilmu agama dan sebagai uswah hasanah kehidupan. Ketiga, hubungan kiai-santri bukanlah sekedar hubungan guru-murid, melainkan telah tercipta hubungan lahir batin sedemikian rupa layaknya bapak-anak. Kiai dianggap sebagai orang tua selain orang tua kandung dan mertua, sehingga tidak akan dijumpai istilah mantan atau bekas kiai.
Faktor-faktor inilah (mencari emanasi barakah, penghormatan dan hubungan lahir batin) yang sebenarnya membentuk kepatuhan mutlak santri kepada kiai di lingkungan pensantren yang sering disalahpahami pihak luar sebagai bentuk kultus yang sengaja ditekankan dan mematikan ide-ide kritis para santri. Perlu ditegaskan di sini, bahwa semutlak apapun kepatuhan itu, masih dalam batas proporsi yang wajar. Sebab di samping kepatuhan itu hanya berlaku dalam hal-hal yang tidak maksiat, umumnya kepatuhan itu juga di luar konteks yang perlu kritisisasi. Polemik kiai-santri dalam konteks yang bersifat ijtihadi, bukan suatu yang tabu dalam tradisi pesantren sepanjang dikemas dengan norma etik yang berlaku.
2. Karakteristik Pandangan Hidup Pesantren
Sejak pertama kali memasuki dunia pesantren, seorang santri telah diperkenalkan pada sebuah dunia tersendiri. Doktrin utama yang ditekankan dalam dunia ini adalah cara dalam memandang kehidupan secara totalitas sebagai ibadah. Doktrin ini dimulai dari perhatian yang ketat dalam menjalankan ibadah-ibadah ritual hingga penentuan jalan hidup yang akan dipilih santri kelak setelah pulang dari pesantren, harus mengarah pada tujuan ibadah dan ridla Allah. Seorang santri akan rela mengabdi kepada kiai, guru dan pesantrennya karena hal itu dinilai ibadah. Kesanggupan santri melakukan tirakat yang berat bukan hanya diartikan sebagai persyaratan mencari kesempurnaan ilmu, malainkan juga bagian dari ibadah. Waktu yang bertahun-tahun dihabiskan di pesantren tidak dirasakan sebagai kerugian dan kesia-siaan, karena keberadaan di pesantren sendiri sebagai aktifitas ibadah. Pandangan totalitas kehidupan sebagai ibadah yang tertanam kuat dalam lubuk santri, menjadikan setiap gerak perjuangan di kehidupan sosial kental dengan obsesi ibadah seperti ini.
Disamping itu, nilai-nilai asketisme ditanamkan semenjak dini di lingkungan pesantren memiliki pengaruh luar biasa dalam membentuk karakter pandangan hidup anak didiknya. Nilai-nilai yang berorientasi uhkrawi yang memandang duniawi bukan segalanya, membentuk karakter pandangan hidup santri jauh dari pandangan hidup yang serakah dan materialistik. Pandangan inilah agaknya yang mempengaruhi orientasi pendidikan santri bukan untuk mencari lapangan kerja, sebagaimana orientasi pendidikan umumnya.
3. Karakteristik Metodologi Pengajaran Pesantren
Dimensi pendidikan pesantren bersifat menyeluruh. Totalitas potensi pikir dan zikir, rasa dan karsa, jiwa dan raga, logika (benar-salah), etika (baik-buruk) dan estetika dikembangkan melalui berbagai media pendidikan yang terbentuk dalam suatu komunitas yang sengaja didesain secara integral untuk tujuan pendidikan. Di dalam masjid atau kelas para santri diajar ilmu pengetahuan kognitif, dan di luar itu ia memperoleh bimbingan dengan menyaksikan suri tauladan dari perilaku kiai, guru serta kawan-kawannya dalam suatu kehidupan subkultur yang kental dengan suasana religiusitas, ketaatan, kepatuhan, kesederhanaan, kemandirian, keikhlasan dll. Pengertian pelajaran bagi pendidikan pesantren tidak terbatas pada pelajaran atau kitab-kitab yang dipakai, tapi totalitas aktifitas kehidupan di dalam pesantren. Inilah yang disebut dengan praktek metode tarbiyyah untuk membentuk suatu karakter kesantrian.
Dalam praktik metode ta'lîm (pengajaran), karakter khas yang menjadi tradisi pesantren diantaranya ialah sistem bandongan, weton atau halaqah. Yaitu bentuk pemberian pelajaran atau pengajian seperti kuliah terbuka di mana kiai yang aktif membaca, menerjemahkan dan menerangkan sementara santri mendengarkan dan menuliskan. Kemudian sistem sorogan, yaitu santri yang aktif membaca kitab, kadang menuliskan atau menerangkannya di hadapan kiai. Setelah memperoleh pengajaran ini, kemudian santri melanjutkan dengan kajian ulang melalui sistem takrâr, musyâfahah, musyâwarah dan diskusi interaktif lainnya. Dua sistem pengajaran monologis yang menekankan pada penguasaan teks inilah yang menjadi ciri khas metodologi klasik pesantren di samping sistem hafalan, sebelum kemudian pesantren mengembangkan sistem pengajaran dalam bentuk madrasi atau sekolah dengan sistem klasikal: berkelas, berjenjang, silabus, pengajar, evaluasi, dll. Tradisi monologis ini sempat dikritik sebagai sistem tradisional yang tidak sesuai dengan metode didaktik modern yang dialogis-emansipatoris, meski sebenarnya metode inilah yang menjadi karakteristik dan jati diri pesantren. Merubah kedua sistem ini pesantren justru akan kehilangan jati diri tradisionalnya. Sistem klasik ini tidak perlu diganti karena sebenarnya tidak senaif yang diperkirakan pihak luar. Sistem bandongan atau weton di pesantren, memiliki fungsi urgen. Di samping merupakan sistem praktis untuk pemahaman dalam tataran teks, ia juga berfungsi menjaga silsilah keilmuan yang dipercaya penting di kalangan santri. Demikian juga sistem sorogan, sangat efektif untuk melatih penguasaan anak didik dalam tataran praktek. Sistem monologis ini hanya perlu disinergikan dengan kajian-kajian analitis melalui diskusi-diskusi yang bersifat interaktif.
Keunikan metodologi pengajaran pesantren yang mensinergikan metode tarbiyyah (pendidikan) dan ta'lîm (pengajaran) seperti ini, menegaskan bahwa orientasi pendidikan pesantren sama halnya dengan orientasi kehidupan manusia diciptakan di dunia ini, yakni ibadah, yang spektrumnya seluas pengertian ibadah itu sendiri. Pesantren berfungsi sebagai "meltingpot", yaitu tempat untuk mengolah potensi-potensi dalam diri santri agar dapat berevolusi menjadi manusia seutuhnya (al-insân al-kâmil). Santri tidak hanya disiapkan untuk mengejar kehidupan dunia tapi juga mempersiapkan kehidupan akhirat. Tidak hanya untuk menjadi manusia berguna bagi masyarakatnya, tapi untuk menjadi manusia seutuhnya di hadapan Tuhan. Jadi kehidupan pesantren sudah merupakan pelajaran penting bagi santri seperti yang diajarkan oleh Islam itu sendiri.
4. Karakteristik Tradisi Keilmuan Pesantren
Dalam tradisi keilmuan, karakteristik kurikulum pesantren dipengaruhi oleh dua gelombang ulama. Pertama, gelombang keilmuan ulama yang datang ke Nusantara pada abad 13 M. bersama menyebarnya Islam di kawasan ini. Kedua, gelombang ketika ulama-ulama Nusantara melakukan rihlah intelektual ke Timur Tengah pada abad 19 M.[6] Manifestasi keilmuan pada gelombang pertama adalah dalam bentuk yang berorientasi kuat pada tasawuf, meskipun keilmuan tauhid, fiqh, tafsir, hadits, ahklaq dan ilmu-ilmu alat juga dipelajari. Orientasi keilmuan tasawuf inilah yang paling mempengaruhi corak dan watak tradisi keilmuan pesantren saat itu. Kitab-kitab yang mengkomparasikan antara fiqh dan akhlak menjadi kurikulum utama. Seperti kitab Bidâyah Alhidâyah dan kitab Ihyâ' Ulûmiddîn, dua kitab fiqh-sufistik karya Hujatul Islam, Alghazali, yang paling familier berabad-abad hingga sekarang. Dalam pendalaman keilmuan tasawuf, kitab yang digunakan pegangan di pesantren adalah kitab Syarh Alhikâm karya Ibn Atha'illah Assakandari, salah seorang penulis sufi yang paling terkenal.
Dalam perjalanannya yang panjang, manifestasi keilmuan tasawuf di pesantren mengalami pergumulan dengan pandangan dan perilaku mistik lokal, dan bahkan bersentuhan langsung dengan perkembangan aliran tasawuf yang menyimpang dari ortodoksi, seperti paham wahdah alwujud. Hal ini bisa kita jumpai pada Abdurrahman Singkel dan tokoh lain di masanya.[7] Perdebatan antara Arraniri dan gurunya yang menghasilkan pemurnian ajaran tasawuf di Aceh pada abad 16, menunjukkan dengan jelas manifestasi fiqh-sufistik telah merasuki ranah kehidupan ilmiah umat Islam. Manifestasi tasawuf bukan sekedar dijadikan konsumsi nalar dan wacana untuk adu argumentasi, melainkan telah menjadi penghayatan dan laku amaliah nyata.
Gelombang keilmuan kedua pada abad 19, adalah kepulangan para ulama dari rihlah intelektual ke Timur Tengah. Gelombang ini membawa manifestasi baru di dunia pesantren yang berorientasi pada corak fiqh. Intensitas diskusi-diskusi fiqhiyah kala itu telah dilakukan secara serius. Fenomena ini bisa kita lihat dari khasanah fiqh dalam tradisi keilmuan pesantren yang cukup fantastik, mulai dari fiqh tingkat dasar madzhab Syafi'i, seperti kitab Sulâm Attaufîq karya Syaikh Nawawi, kitab Attaqrîb yang paling familiar, karya Syaikh Abi Suja', dan syarahnya Fath Alqarâb, karya Syaikh Muhammad Ibn Qasim Alghuzi, atau yang tingkat menengah seperti kitab Fath Almu'în karya Syaikh Zainuddin Abdul Aziz Almalibari, kitab Fath Alwahhab karya Syaikh Zakariya Al'anshari, hingga kitab-kitab fiqh yang bersifat manhaji, seperti Minhâj Atthâlibîn karya Annawawi, dan syarah-syarah besarnya seperti, Tuhfah Almuhtâj karya Ibn Hajar Alhaitami, yang kemudian dikomentari (hasyiyyah) berjilid-jilid oleh Asysyarwani dan Ibn Qasim Al'ubadi, Mugnî Almuhtâj karya Alkhathib Asysyarbini, Nihâyah Almuhtâj karya Arramli, kitab Al-Muhadzdzab karya Abi Ishaq Asysyairazi dan syarah raksasanya Al-Majmû' yang lebih dari 15 jilid karya Annawawi, kitab Al-'Azîz Syarh Alwajîz karya Arrafi'i, Alhâwi Alkabîr yang lebih dari 20 jilid karya Almawardi, dan kitab induk, Al'um karya Asy-Syafi'i, dll. Belum lagi literatur fiqh A'immah Atstsalâtsah (tiga imam madzhab selain Asy-Syafi'i) yang besar-besar, seperti Almabsûth karya Asysyarkhasi (fiqh madzhab Hanafi), Hasyiyyah Addasûqi, (fiqh madzhab Maliki), Almughnî karya Ibn Qudamah (fiqh madzhab Hanbali), dll.
Dua manifestasi keilmuan (tasawuf dan fiqh) inilah yang kemudian mendorong tradisi dipelajarinya ilmu-ilmu alat bantunya, seperti ilmu gramatika Arab (Nahwu dan Sharaf) seperti, Al'ajurumiyyah karya Syaikh Ashshanhaji, Al'imrithî karya Syaikh Syarafuddin Yahya, Alfiyyah karya Syaikh Ibn Malik; ilmu retorika dan satra Arab (Balaghah) seperti nadham Jauhar Almaknun karya Abdurrahman Al'akhdlari, nadham Uqûd Aljumân karya Assuyuthi; ilmu kaidah fiqh seperti Al'asybâh wa Annadlâ'ir, karya Syaikh Assuyuthi, Farâi'dl Albahiyyah dan syarahnya, Alfawâ'id Aljaniyyah karya Syaikh Yasin bin Isa Alfadani; ilmu ushul fiqh seperti kitab Alwaraqat, nadham Attashhil, Lubb Al'ushul, Jam' Aljawâmi', Almushtashfa, Arrisâlah, dll. Disamping itu, tradisi keilmuan pesantren juga mempelajari ilmu teologi (tauhid), seperti 'Aqîdah Al'awâm, Jauhar Attauhîd, Ummu Albarâhin dan syarahnya, Ad-Dasûqi dll.; ilmu tafsir mulai Tafsir Aljalâlain, Tafsir Alkhâzin, Tafsir Almunîr, hingga kitab-kitab tafsir raksasa seperti Tafsir Atthabari, Tafsir Alqurthubi, Tafsir Arrâzi dll. yang masing-masing lebih dari 15 jilid; ilmu hadits mulai Al'Arba'în, Bulûgh Almarâm, Riyâdl Ashshâlihîn, Jam' Ashshaghîr, Shahîh Muslim, Shahîh Albukhâri dan syarah-syarah besarnya seperti Fath Albâri karya Ibn Alhajar Al'asqalani, dll.
Literatur ini merupakan kitab-kitab klasik yang telah berusia berabad-abad dan merupakan literatur universal yang diwariskan dari generasi ke genarasi dari periode awal sejarah Islam di Timur Tengah. Proses transmisi tradisi keilmuan dari generasi ke generasi di pesantren juga sangat unik, yaitu melalui transmisi oral (ijâzah) dari lisan ke lisan. Proses ini dimaksudkan untuk menjaga kemurnian ajaran. Meski sebagai literatur kuno, pesantren tetap menjadikannya sebagai teks wajib karena disamping apresiasi terhadap penulisnya sebagai figur yang diakui memiliki keluhuran intelektual dan spiritual, tema-tema utama di dalam teks-teks kuno itu mengandung nilai-nilai universal dan pandangan-pandangan kehidupan yang humanis. Untuk menyebut contoh, kitab I'ânah Aththâlibîn syarah Fath Almu'în yang telah berumur 3 abad, dalam tema Jihad juga menyinggung tugas sosial umat Islam. Menurut kitab ini, tugas umat Islam adalah membangun kehidupan masyarakat sejahtera, memberantas kebodohan dengan menyelenggarakan pengajaran keagamaan, mengentaskan kemiskinan dengan menyediakan kecukupan sandang, pangan dan papan yang layak, menanggung biaya medis baik terhadap umat Islam atau non Muslim yang hidup dalam komunitas yang sama.
5. Karakteristik Idiologi dan Sikap Pesantren
Idiologi pesantren memiliki akar ajaran yang kuat dari perkawinan konspiratif antara teologi skolastisisme Asy'ariyah dan Maturidiyah dengan ajaran-ajaran tasawuf (mistisisme Islam) Imam Aljunaid Albaghdadi dan Alghazali, yang kemudian lebih dikenal dengan ajaran Ahli Sunnah wa Aljama'ah. Istilah Ahli Sunnah wa Aljama'ah sendiri terbentuk karena kondisi keagamaan kaum Muslimin yang saat itu dikelilingi berbagai paham sesat (bid’ah). Ketika Jabariyah menyatakan paham fatalisme (peniadaan kebebasan dan kuasa manusia atas segala kehendak dan perbuatannya secara mutlak), sementara Qadariyah dan Mu’tazilah menyatakan bahwa makhluk memiliki kebebasan dan kuasa mutlak atas kehendak dan perbuatannya, maka lahirlah Ahli Sunnah wa Aljama'ah sebagai sekte moderat yang sekaligus menjadi identitas pembeda antara dua paham ektrim tersebut. Identitas moderat Ahli Sunnah wa Aljama'ah ini tercermin dalam manhaj alfikr (metodologi pemikiran)-nya yang meliputi sikap tawâsuth (moderat), tawâzun (berimbang) dan tasâmuh (toleran) baik dalam berpikir, bersikap dan berperilaku.
Tradisi perilaku seperti ini bisa dijumpai dalam perjalanan sejarah Ahli Sunnah wa Aljama'ah. Seperti sikap Ahli Sunnah wa Aljama'ah yang moderat (tawâsuth) dalam memandang Ahl Albait (keturunan nabi), tidak seperti Syi’ah yang ekstrim dalam mengkultuskan, dan Khawarij yang ekstrim dalam memusuhi. Dan seperti sikap tengah Ahli Sunnah wa Aljama'ah di antara paham ekstrim Qadariyah dan Jabariyah mengenai Af’âl Allah. Sikap tawâzun (harmonis) juga tercermin ketika Ahli Sunnah wa Aljama'ah mensinergikan dalil aqli dan naqli secara seimbang dan menghindari sikap ekstrim (tatharruf) kanan yang melahirkan fundamentalisme Islam dan sikap ekstrim kiri yang melahirkan liberalisme. Dan sikap tasâmuh (toleran) tercermin dari model pendekatan dakwah penyebaran Islam di Nusantara yang bersedia menghargai nilai-nilai normatif budaya dan tradisi lokal. Kesediaan menerima dan membela Pancasila sebagai idiologi NKRI, di tengah desakan kelompok-kelompok Islam yang menginginkan formalisasi syariat Islam, juga bukti empiris dari sikap tasâmuh ini.
Idiologi dan sikap perilaku seperti inilah yang ditanamkan dalam tradisi pesantren yang kemudian diadopsi sebagai fikrah nahdliyyah NU. Dengan demikian, pesantren dan NU adalah satu kesatuan tak terpisahkan. Ibaratnya, pesantren adalah miniatur kecil dari NU, sedangkan NU adalah pesantren besar. Di samping itu, nilai-nilai ukhuwwah (persaudaraan) di pesantren juga ditanamkan sedemikian rupa, yang selanjutnya dirumuskan menjadi ukhuwwah islâmiyyah (persaudaraan keislaman), ukhuwwah basyariyyah (persaudaraan kemanusiaan), dan ukhuwwah wathaniyyah (persaudaraan kebangsaan) yang menjadi bekal santri dalam bersosialisasi dengan masyarakat luas.
Demikianlah, ilustrasi karakteristik nilai-nilai kultural dunia pesantren yang merupakan jati diri tradisionalismenya selama ini. Namun sejak bergulirnya wancana modernisasi pesantren, karakteristik ini sedikit banyak telah mengalami keterkikisan dari kehidupan pesantren. Fenomena yang perlu diwaspadai oleh pesantren untuk tetap melestarikan nilai-nilai kultural tradisionalismenya yang luhur di alam modern.
3. Problematika Modernisasi Pesantren
Modernisasi pesantren memaksa pesantren memiliki fungsi ganda. Fungsi untuk menjawab tuntutan modern sekaligus fungsi menjaga nilai-nilai kultural dan tradisionalismenya. Fungsi ganda ini mau tidak mau akan berpengaruh pada kapasitas pesantren dalam menghasilkan kualitas anak didik secara maksimal. Bahkan tidak jarang fungsi ganda ini menghasilkan kualitas keilmuan santri yang setengah-setengah, atau menghasilkan kesejenjangan prestasi. Fenomena yang lazim terlihat, santri pesantren modern jika prestasi ilmu agama dan ilmu umumnya sama-sama tidak maksimal, galibnya ilmu umumnya cenderung menonjol dibanding ilmu agamanya. Hal ini bisa dilihat di forum-forum diskusi antar pesantren yang mempertemukan santri pesantren salaf dengan pesantren modern. Dalam forum diskusi keagamaan seperti bahtsul masa'il, santri pesantren salaf relatif mendominasi penguasaan keilmuan baik dari segi ilmu alat atau fiqhnya.
Sistem pendidikan pesantren modern yang kian intensif menekankan aspek pengajaran (ta'lîm) dalam penguasaan sains, teknologi, ketrampilan dan bidang-bidang yang berbasis profesionalisme, cenderung mengabaikan aspek tarbiyah sebagai ikhtiar pembentukan mentalitas kepribadian santri. Kurangnya intensitas penekanan aspek tarbiyah dan ruhiyah, sedikit banyak telah melunturkan budaya salaf, seperti hilangnya kecenderungan melakukan tirakat, kesederhanaan, ketaatan, kepatuhan, keikhlasan dan aspek-aspek kezuhudan lainnya. Kondisi ini dikhawatirkan akan menjadikan anak didik cenderung abai dengan moralitas, bermental materialistik, atau bahkan berpikiran liberalisme. Di samping itu, modernisasi pesantren dalam sistem, menejemen dan struktur kepengurusan yang kolektif, telah banyak menggeser otoritas dan interaksi kiai-santri. Kondisi ini meski satu sisi bisa menjamin efektifitas hierarki kepemimpinan di pesantren, namun juga memberi pengaruh berbeda pada psikologi santri. Di luar itu semua, pengasuh atau ustadz pesantren yang sudah mengalami regenerasi, tidak jarang kualitas keilmuan atau keikhlasannya banyak yang menurun, sehingga bisa berpengaruh pada aspek keberkahan seperti yang selama ini dipercaya. Khusus untuk mewaspadai kondisi terakhir ini, bagi putra-putra kiai yang secara kultural memeliki tanggung jawab melestarikan eksistensi pesantrennya, harus didorong dan diberi kesemptan untuk melanjutkan pendidikannya yang lebih sempurna. Karena logikanya, murid unggul karena kiai atau guru yang unggul pula.
Problematika-problematika demikian inilah sebenarnya yang ditakutkan oleh pesantren salaf jika harus berubah mengikuti tuntutan modernisme. Di satu sisi masyarakat menginginkan perubahan pesantren, namun ketika sebagian pesantren berubah, banyak yang prihatin dengan out putnya. Santri pesantren modern yang digadang-gadang bisa tampil menjadi figur ideal sebagai ulama dan profesional, nyatanya tak sedikit yang ibarat api jauh dari panggang. Ini yang perlu disikapi dengan hati-hati dan dicarikan solusinya oleh pesantren.
Disarikan dari makalah yang berjudul MENGGAGAS PESANTREN SEBAGAI PUSAT PERADABAN MUSLIM DI INDONESIA, oleh al-Ustadz Mudaimullah Azza, pengurus LBM PPL & aktifis Bathsul Masail

1 komentar:

  1. WinStar World Casino Resort And Spa Launches in - KTNV
    WinStar World Casino Resort And Spa will be open from 9 문경 출장샵 a.m. to 정읍 출장샵 8 a.m. on Thursday and Monday from 8 a.m. to 6 a.m. in all rooms 여주 출장안마 at 화성 출장샵 the casino. 밀양 출장마사지

    BalasHapus