Minggu, 24 Juli 2011

KISAHQ


BISMILLAHIRROHMANIRROHIM
MUTIARA TERPENDAM
رب فانفعنا ببركتهم # واهدنا الحسنى بحرمتهم
وامتنا فى طريقتهم # ومعافة من الفتن
Terdengar suara para santri dari aula pondok, melantunkan beberapa bait doa untuk mengahiri pengajian mereka.
“mbak-mbak… saya pulang dulu ya….” Ujar salah seorang santri
geh, silahkan”
“hati-hati Neng…” sahut yang lain
geh, trimakasih. Assalamu ‘alaikum” ucapnya sambil tersenyum simpul
“wa alaikum salam Wr. Wb.” jawab para santri serentak
“siapa sih dia, aku kok nggak pernah lihat ya….” Kata seorang yang berkerudung putih
“he-eh ku juga nggak kenal”sahut yang lain penasaran
“husss, kalian hati-hati kalo ngomong, dia itu putrinya Abah yang terakhir, namanya Neng Maknun, nama lengkapnya siapa ya…  oh iya, nama lengkapnya Neng Churin In Maknunah” ucap seorang santri panjang lebar. “Neng Maknun baru pulang dari rumahnya Yai Anas, pamannya yang ada di Purwodadi, beliau lama mondok di sana, pasti kalian belum kenal”.

# # # #

3 bulan yang lalu

“Maknun….” Terdengar suara Paklek Anas dari ndalem.
“tunggu sebentar ya, aku di panggil Paklek” ujarnya sambil beranjak ke ndalem “geh Paklek, saya datang” jawabnya ketika sudah berada di hadapan Paklek Anas
“Maknun… tadi Paklek dapat telpon dari Abahmu, besok Abahmu kesini katanya mau nyambang kamu” ucap Paklek Anas
Wajah Maknun berubah sumringah mendengar kabar kalo Abah mau menjenguknya, ia sangat kangen karena sudah setengah tahun ini Abah tidak kunjung menjenguknya.
“oh geh Paklek, sama siapa saja?” ungkapnya gembira
“insya Allah sekeluarga, Abahmu bilang dia mau ngambil kamu, katanya kamu mau diboyongkan dari sini”.
“yang benar Paklek?? Kenapa tiba-tiba??” Ungkapnya kaget
“Paklek juga nggak tau Maknun… Paklek juga heran kenapa Abahmu punya rencana seperti itu, tapi Paklek ya nggak bisa banyak omong, Paklek hanya meng-iyakan saja”
“tapi Paklek, saya masih pengen di sini, kan sekarang Maknun juga masih harus sekolah Paklek… kenapa Abah tiba-tiba malah mau memboyong saya??” Ungkapnya kesal
“sudahlah Maknun… kamu nurut saja dengan Abahmu, pasti Abahmu punya alasan berbuat seperti itu, sekarang kamu kemasi dulu barang-barangmu” ungkap Paklek Anas pasrah, sepertinya beliau juga merasa kurang setuju dengan hal itu.
            Maknun berlalu dari hadapan Paklek Anas dengan perasaan masghul, menuju kamarnya di komplek al-Wardah.
“kenapa dengan kamu Maknun?? Kok lecet gitu??” Ucap Ulya temannya dari Cirebon
“aku besok boyong Ul…”ucapnya lemas
“hah… yang bener kamu, jangan becanda dong!!” ucapnya kaget
“aku lagi nggak becanda Ul… ni beneran…aku habis di panggil Paklek Anas dan diomongi panjang lebar, terus  besok Abahku datang dan akan memboyongku”
“kok bisa sih… dengan alasan apa kamu diboyongkan?”
Maknun hanya menggeleng lemah, tanpa bisa ngomong, sepertinya dia juga sangat tertekan mendengar kabar itu.
“nggak bisa gitu Nun, kamu harus tahu alasan Abahmu, kok tiba-tiba akan memboyongmu, sana pergi telpon, tanya sama Abahmu, apa  benar beliau mau memboyongmu” ucap Ulya member pertimbangan. Tanpa banyak omong, Maknun lalu keluar ke wartel dan menelpon sang Abah.
“Kang… ini aku Maknun, bisa dipanggilkan Abah…”
“oh geh Neng, Abah ada, tunggu sebentar ya, saya panggilkan…” ucap suara di seberang sopan
lapo[1] Nun telpon” suara Abah terdengar datar
“Bah, sebelumnya saya minta maaf. Saya ingin menanyakan perihal kabar yang disampaikan Paklek Anas, kalo besok Abah mau memboyong saya dari sini, apa itu benar??” Ucap Maknun hati-hati, takut salah omong.
“iya” jawab Abah singkat
“terus kenapa Bah?? Kenapa Abah tiba-tiba memboyong saya, saya kan masih krasan di sini, Maknun juga masih belum selesai sekolah Bah” ucap Maknun menjelaskan
“kamu nggak usah banyak protes, ini sudah jadi keputusan Abah dengan Umi, kamu besok Abah  jemput dan boyong. Karena habis ini kamu harus mondok di pondoknya teman Abah” ucap Abah dengan nada sedikit tinggi, membuat Maknun semakin takut. Disamping Abah ada Umi yang mendampingi, Umi sebenarnya ingin ikut bicara dengan Maknun, namun Abah menghalanginya. Maknun lalu menutup telponnya, setelah mengucap salam  ia tidak bisa membuat pembelaan lagi, sekali Abah sudah memutuskan sesuatu tidak ada yang berani membantah beliau.

# # # #

            Maknun hanya bisa menuruti apa yang diperintah oleh Abah, dua tas ransel dan beberapa kerdus besar telah tertata rapi di kamar, sepertinya sudah siap untuk pulang, beda dengan dirinya kini yang hanya bisa menangis tersedu-sedu dalam pelukan teman-temannya.
“maafin aku semua… mungkin selama kebersamaaan kita aku tlah banyak berbuat salah dan khilaf pada kalian, sungguh aku minta ikhlas, doa dan ridlo dari kalian, biar perjalananku kedepan menjadi lebih baik, dan juga aku tidak akan melupakan kalian dan kenangan-kenangan selama kita besama di sini, dan bila ada kesempatan aku akan berkunjung ke sini” ucap Maknun dengan tersedu-sedu, ini adalah pertemuan terakhir bersama mereka mengakhiri semua kenangan manis dan pengalaman yang pernah ia jalani selama di pondok. Teman-teman sepondok sama menyalaminya, sebagai bentuk perpisahan.
            Abah dan Umi sudah menunggu di ruang tamu ndalem. Umi tampak murung, wajahnya tidak menyiratkan kebahagiaan, beda dengan Abah yang tampak biasa saja sambil ngobrol bersama dengan Paklek Anas.
“sudah Nak” ucap Umi meyambut kedatangan putrinya. Maknun hanya menjawab dengan anggukan, “sana, pamitan sama Paklek dan Bulek” perintah Umi lembut. Maknun menghampiri Paklek Anas dan Bulek Anisa, berjabat tangan dengan beliau sambil meminta maaf.
“yang pintar ya Maknun, Paklek dan Bulek juga minta maaf bila selama ini kurang perhatian sama kamu, manut [2]aja sama Abah, pasti beliau tahu yang terbaik untuk putrinya” pesan Paklek Anas yang terakhir .
            Sesampainya di rumah Maknun langsung berlari ke kamar, ia tak ingin bertemu dengan siapapun.
“Bah, Umi kasihan sama Maknun, apakah ini tidak terlalu cepat untuk putri kita, dia masih kecil dan lugu” ucap Umi masghul
“tidak Umi, Abah juga ngerti, ini adalah sebagai latihan untuk Maknun biar ia lekas dewasa dan bisa meneruskan perjuangan Abah dan Uminya” ucap Abah menimpali
            Setelah beberapa hari di rumah, Maknun masih tetap sama ia hanya mengurung diri di kamar kalo nggak untuk makan dan jamaah dia tidak mau keluar. Ini yang membuat Abah dan Umi merasa bersalah pada putrinya.
“nak, Umi lihat kamu setelah pulang dari rumah Paklekmu hanya mengurung diri di kamar, apakah kamu tidak bosan? atau kamu ingin sesuatu” rayu Umi. Maknun hanya menggeleng “kamu jangan terus seperti ini Nak, jangan menyiksa diri kamu sendiri dengan hal-hal yang tidak berguna, bukanlah hal ini hanyalah pengangguran yang sangat dibenci Allah karena memubadzirkan waktu tanpa melakukan hal yang bermanfaat?? Ayolah Nak bersemangat…. Maafkan bila Abah dan Umi salah, tanpa minta pertimbanganmu tiba-tiba memboyongmu dari pondok, karena Abah dan Umi ingin putrinya menjadi wanita dewasa dan solihah” ungkap Umi sambil membelai rambut Maknun. Maknun tetap tak bergeming.
 “Mi… aku kok nggak pernah kelihatan Mas Irfan, kemana dia??”Tanya Maknun tiba-tiba
“Mas-mu jarang pulang Nun, dia lebih krasan di pondok, padahal Abah juga memberinya jam di sekolah biar ia sering pulang ke rumah, eh malah tetap saja, kalo nggak di panggil Abah ya nggak pulang”
“ya suruh saja Abah nimbali[3] Mas Irfan terus, ntar Mas Irfan pulang juga. Bukannya Mas Irfan Mi yang seharusnya di boyongkan, kan Mas Irfan sudan belasan tahun mondok, kok malah Maknun yang di suruh pulang” ucap Maknun merujuk
“bukannya seperti itu Nun, kemarin Abah kan sudah katakana sama kamu, bahwa kamu juga akan dipondokkan lagi di pondoknya temannya Abah di Pasuruan”
“mondok dimana saja aslinya kan sama Mi, tergantung anaknya, sama saja Umi pondokkan Maknun di Pasuruan tapi Maknun nggak krasan malah Maknun nggak bisa belajar dengan tenang”
“tapi semua itu harus dicoba dulu Maknun, mungkin sebulan dua bulan kamu masih belum betah, tapi lama kelamaan kamu akan krasan juga, Umi yakin itu. Ya sudah kamu sekarang istirahat dulu Umi keluar sebentar”

# # # #

            Maknun di suruh Umi untuk menemani Abah ngaji wethon di pondok, Maknun tidak berani membantah ia hanya nurut saja.
“Nun, sini kamu ganti yang ngaji Abah ada keperluan di luar” ucap Abah tiba-tiba
Maknun sontak saja kaget, ia mau kabur tapi keburu Abah mencegahnya. “ayo Nduk,[4] sini duduk, Abah mau berangkat sekarang”. Rasanya seperti ketiban genting, Maknun terduduk lunglai di hadapan para santri yang duduk manis di depannya, beberapa waktu ia sibuk menenangkan diri, mencoba menguasai suasana yang mau tak mau harus ia hadapi. Sambil mengambil nafas panjang ia memulai pengajiannya, meskipun ada perasaan takut dan was-was yang sangat mengganggunya.
“qola almushonnifu rohimallahu ta’ala wa nafa’ana bihi wa bi ulumihi fiddaroini, amiin ya robbal alamiin” ucapnya membuka pengajian. Satu demi satu kata ia baca kemudian dimaknani, sebetulnya ia tidak asing dengan kitab yang sedang ia kaji saat ini karena dulu ia pernah ngaji kepada Paklek Anas sewaktu mondok dulu, yaitu kitab karangan Hadrotus Syeikh Hasyim Asy’ari Tebuireng yang membahas tentang asas Ahlu Sunnah wal Jamaah. Tapi kalo prosesnya dadakan begini pasti bikin nervus. Abah biasanya selalu menjelaskan kitab yang beliau kaji, namun kali ini ia tak bisa menjelaskan sebagaimana Abah, karena ia sendiri belum muthola’ah.
“mbak-mbak sekalian, sebelumnya saya minta maaf karena ini dadakan jadi saya belum bisa menjelaskan isi kitab ini, nanti biar Abah saja yang menjelaskan. Saya hanya maknani[5] saja” kemudian ia melanjutkan ngajinya sampai setengah jam lamanya, rasanya seperti di sidang keringat dinginnya keluar semua, tangan dan kakinya juga ikut-ikutan menggigil. Setengah jam kemudian pengajian selesai, banyak terdengar desas-desus di tengah-tengah mbak-mbak santri, sebagian dari mereka berdecak kagum dengan kecerdasan putri kiainya itu dan sebagian yang lain masih mempertanyakan siapa gerangan gadis yang barusan mengaji di hadapan mereka.

# # # #

            Pengangguran di rumah lama-lama membuat ia bosan juga, ia ingin keluar melihat suasana di sekitar pondok. Namun ia sendirian tidak punya teman.
“cuitss…cuitss… da cewek cantik….. sini dong manis…” goda salah seorang santri putra ketika ia melintas di depan kompleks pondok putra tepat di sebelah rumahnya. Ia hanya menoleh sebentar kemudian berjalan lagi.
“dasar lelaki penggoda, belum tau dia… awas tak laporin Abah baru tau rasa…” ucap Maknun sambil berdesis.
“waahh rupanya ia tertarik padaku, ia mau melihatku hahahaha…” ucap seorang santri di bilik kamarnya di lantai atas. “Dasar kurang ajar” batin Maknun dalam hati.
Lama-kelamaan ia merasa terganggu juga dengan teriakan-teriakan itu dan memutuskan untuk balik ke rumah.
“Neng Maknun….Neng Maknun….” Sapa seseorang santri putri ketika berpapasan di jalan   
Maknun hanya diam, karena ia berjalan dengan tertunduk tidak tahu ada orang yang dari tadi memanggilnya.
“Neng Maknun…” sapa gadis itu sambil menghampiri Maknun yang tengah tenang dalam perjalanannya.
“hah… ada apa?” jawabnya kaget
“Neng, ini saya Luluk, santrinya jenengan[6]” ungkap gadis itu jujur
“oh, masya Allah mbak Luluk to, iya..iya ingat. Masya Allah Mbak Luk, sampeyan ini masih di sini to, kirain dah boyong” ungkapnya sumringah sambil menjabat tangan gadis di depannya
“geh Neng, jenengan saja yang nggak pernah pulang ke rumah jadi nggak tau kalo saya masih di sini”
“maaf Mbak, saya memang jarang pulang, meskipun pulang itu hanya ketika hari raya, pas mbak-mbak sudah sama pulang, tapi aku pasti ingat sama sampeyan[7], karena dulu sampeyan yang suka mengajari saya ngaji”
“Sudah berapa tahun mbak Luluk mondok di sini?”
“ah… kalo di Tanya soal itu, saya jadi malu Neng, sebenarnya sudah lama yaitu sudah 12 tahun, tapi ya gitu Neng saya masih belum bisa apa-apa” ungkapnya sambil tersipu malu
“Mbak Luluk jangan merendah, nggak mungkin Mbak Luluk nggak bisa apa-apa  la wong dulu saya belajar ngaji juga ke sampeyan
Gadis yang di panggil mbak Luluk itu hanya tersenyum
“kapan nikahnya Mbak Luk, ntar keduluan saya lo… Hahaha”
“doakan saja Neng, semoga cepat jodohnya”
“Amiin”
“oh ya Neng, ayo mampir ke pondok” tawar mbak Luluk
“ya Mbak trimakasih, ini saya juga habis jalan-jalan di sekitar pondok bosen di rumah terus”
“lah makanya Neng, monggo dolan ke kamar saya, anak-anak pasti senang kalo di dolani putri yainya”
geh matur suwun[8], kapan-kapan saja”
Merekapun berpisah tepat di depan ndalem.

# # # #

“trus ceritanya gimana Neng, kok jenengan bisa boyong?” Tanya mbak Luluk penasaran
Maknun mulai cerita panjang lebar mengenai pengalamannya tersebut, keberatannya akan keputusan abah yang sepihak. “aku juga agak ragu akan putusan Abah yang sangat tidak demokratis itu”
“dulu Abah Thoha juga pernah berbuat seperti itu Neng, beliau tiba-tiba saja memanggil seorang santri dan dia di suruh boyong, awalnya ia kaget dan protes ke Abah, dan Abah tetap menyuruhnya pulang. Ternyata dia di rumahnya mau dinikahkan Neng, orangtuanya sendiri yang minta ke Abah suruh carikan jodoh dan minta izin memboyong anaknya, tapi orangtuanya dan Abah Thoha tidak memberi tahu pada anak itu. Kalo melihat ceritanya jenengan itu kok mirip ya dengan anak itu, bisa saja sebenarnya Abah Thoha seperti ini juga ingin menjodohkan jenengan” selidik mbak Luluk curiga.
“ah, nggak mungkin deh Abah kayak gitu ke aku Mbak, aku kan masih kecil, masih 16 tahun, dan sekolahku masih belum lulus, masih kelas 2 aliyah masak Abah tega menikahkan anaknya yang masih belum cukup umur ini”
“mungkin tidak dinikahkan Neng, tapi dijodohkan, barangkali seperti itu”
Maknun terpekur mendengar penuturan mbak Luluk tadi, sepertinya masuk  akal, tapi ia tak mau percaya begitu saja, dengar kata perjodohan saja ia sudah merinding apalagi pernikahan, “aduh takut” ungkapnya dalam hati.
            Setelah itu ia jadi rajin dolan ke pondok kumpul bareng santri-santri saling bercengkrama dan bercanda, Maknun orangnya gampang akrab menjadi mudah mendapat teman, ia tidak terlalu kenal dengan santri-santri Abahnya karena ia sudah hampir 5 tahun mondok di pondok pakleknya, sehingga ia tidak punya teman di pondok. Sesekali ia membawakan nasi atau jajan dari ndalem untuk di buat mayoran[9] di pondok atau masak bareng-bareng di dapur membuat menu masakan baru. Lama kelamaan di rumah ia bisa melupakan permasalahannya yang tengah dihadapinya.
            Umi mengajaknya berkunjung ke rumah Neng Roudloh kakaknya yang ada di Semarang. Neng Roudloh adalah kakak Maknun yang nomor dua, dia menikah dengan Gus Wafa putranya KH. Jauhar Ali pengasuh PONPES al-Kautsar Semarang. Sedangkan kakaknya yang pertama adalah Gus Abid yang sekarang sudah mengasuh PONPES al-Taubah di Magelang. Sedangkan dia adalah anak bungsu dari empat bersaudara, kakaknya yang nomor tiga masih mondok di salah satu pondok salaf di daerah Kediri. Perjalanan Surabaya-Semarang memakan waktu yang lama, sehingga mereka harus berangkat pagi-pagi, ba’da shubuh harus berangkat agar sampai Semarang tidak keburu malam. Hanya Umi dan Maknun yang berkunjung, Abah tidak bisa ikut karena ada pengajian rutin di pondok yang nggak bisa di tinggal.
            Neng Roudloh telah menyiapkan menu spesial buat tamu-tamu istemewanya itu, apalagi ada adiknya Maknun yang mau datang, karena mereka lama tidak bertemu. Neng Roudloh sudah bersiap menjemput di depan rumah, serta langsung menyambut kedatangan Umi dan Maknun seketika tiba dipelataran rumah.
“gimana kabarmu Maknun, kata Abah kamu diboyongkan ya?” ucap neng Roudloh ngobrol-ngobrol santai di kamar setelah makan-makan bersama dengan keluarga di ruang tengah.
“kenapa mesti ditanyakan Neng, sampeyan pasti udah tahu. Kenapa Neng tidak membelaku, atau meminta Abah supaya tidak memboyongkanku” ucap Maknun kesal ketika mengingat peristiwa itu.
“kamu ini kayak nggak tahu Abah saja Nun, mana mungkin aku bisa membantah perkataan Abah, itu namanya su’ul adab, masak anak berani sama orangtuanya”
“bukan begitu Neng, bukan membantah tapi memberi masukan ke Abah, supaya tidak memboyongkanku, aku kan masih kurang setahun setengah di situ, nggak enak kalo tiba-tiba boyong” ucap Maknun berapi-api
“mungkin Abah punya maksud tertentu Nun, kamu jangan khawatir, Abah orangnya arif dan bijaksana, Abah berbuat seperti itu bukan berarti tanpa alasan, tapi setelah di istikhorohi dulu”
“hah… istikhoroh… istikhoroh apaan Neng? Kayak mau nikah saja pakai istikhoroh”
“ya mungkin” ucap Neng Roudloh sambil tersenyum menggoda
“ah… mana mungkin, kalo seperti itu aku nggak mau, lebih baik minggat saja”
“huss kalo ngomong jangan ngawur” tegur Neng Roudloh
            Mereka menginap selama dua malam di Semarang, sambil berkunjung ke rumah saudara dan teman-teman Umi yang ada di sekitar Semarang. Perjalanan pulang Maknun masih memikirkan perkataan Neng Roudloh padanya, masalah perjodohan. Sepertinya ahir-ahir ini ia sering mendengar kata-kata itu dilontarkan padanya, ia jadi pusing dan bimbang, takut kalo perjodohan itu benar-benar terjadi padanya. Tapi yang bisa menjawab hanyalah Abah dan Umi, tapi mana mungkin  ia bertanya soal itu pada beliau berdua.
            Mereka sampai di rumah sekitar jam dua siang, di kawasan PONPES as-Syafa’ah Wonocolo Surabaya. Maknun masih pulas dalam tidurnya, sampai tidak tahu kalo sudah sampai, Umi membiarkannya saja, sampai mobil bermerek Alpadz itu masuk ke bagasi ia masih tertidur pulas.
“Neng…Neng Maknun, sudah sampai ndalem Neng” ucap sang khodim membangunnya dari sebelah pintu mobil. Maknun terkejut mendengar suara seorang laki-laki membangunkannya dan seketika langsung bangun. “trimakasih Kang, dibangunkan” ucapnya sambil membenahi letak jilbabnya yang sudah tak karuan.

# # # #

Satu minggu kemudian
            Malam itu Maknun di bantu oleh Umi dan mbak-mbak ndalem beres-beres barang yang  akan dibawanya mondok besok, Abah kemaren telah berpesan banyak padanya, bahwa ia akan di pondokkan di pondoknya teman beliau yaitu KH Manshur Shahid Pasuruan, teman Abah sewaktu mondok di Kediri dulu, ia hanya tunduk mendengarkan penuturan Abah, beliau banyak bercerita tentang haliyah Yai Manshur waktu mondok dulu.
“Yai Manshur itu orangnya sangat cerdas Nduk, dulu Abah itu orangnya bodoh sekali pas pertama kali mondok, nah Yai Manshur inilah yang mengajari Abah mulai awal sampai Abah bisa, setelah itu setiap malam kami sering bermusyawaroh sampai malam, entah apa saja yang kami bicarakan, dia juga sering membantu Abah sewaktu Abah butuh bantuan, ketika Abah nggak punya uang Abah diajaknya makan di warung agar bisa sama-sama merasakan makanan enak, begitu juga sebaliknya ketika Abah sudah dapat kiriman Abah juga tak lupa berbagi bersama. Kami bagaikan kawan sejati, sampai kami lulus hubungan pertemanan dan persaudaraan itu tetap kami jaga, dan Abah sampai sekarang juga sering main kerumahnya ke Pasuruan dan sebenarnya dia juga sering main ke sini tapi kamu yang tidak tahu, oleh karena itu Abah ingin persaudaran Abah dengannya tetap terjaga dengan mengirimkan salah satu anak Abah mondok di pondoknya, makanya nanti kalo kamu di sana yang baik-baik ya… jangan bikin ulah, jangan manja, taat peraturan guru dan pondok.” Jelas Abah panjang lebar
            Perjalanan yang sangat melelahkan karena memakan waktu hampir 5 jam, kini Maknun bersama keluarga sudah tiba di PONPES Darut Taqwa Pasuruan, kiai Manshur rupanya sudah menunggu kehadiran keluarga Maknun, mereka berdiri di depan teras.
“assalamu alaikum…” ucap Abah memberi salam pada siempunya rumah
‘wa alaikum salam…” jawab Yai Manshur, sambil berpelukan melepas rindu
“Alhamdulillah, ahirnya sampai juga” ucap Abah
“gimana tadi di jalan, nggak macet” sambut Yai manshur menimpali
“lancar-lancar saja”
“oh ini to, anak sampeyan yang mau mondok di sini itu… cantik juga…”
Maknun sedikit tersentak mendengar Yai Manshur memuji kecantikannya, agak kurang sopan menurutnya. Abah dan Yai Manshur tertawa bersama.
“yo mesti to, anake sopo…”[10]  goda Abah dengan bahasa jawanya yang kental
 “lo anake sopo to, kok ora mirip karo sampeyan Kang?”[11] timpal Yai Manshur tak kalah serunya
“yo anakku se, abahe guanteng ngene”[12]
“koyoke mirip ibune, nek ayu mirip ibune Kang”[13]
Semua orang yang ada diruang tamu itu tertawa-tawa, tapi tidak bagi Maknun, ia merasa tidak dihargai.
“mana anakmu yang katanya guanteng dewe iku” sahut Abah kemudian
“Ridlwan… Ridlwan… sini Nak, dicari Yai Thoha”
Sejurus kemudian datanglah seorang laki-laki berperawakan tinggi, tegap memakai peci putih dan berkoko. Menyalami Abah dan kemudian duduk di samping Yai Manshur.
yo iki[14] anakku…. Ridlwan”
 Kemudian pembicaraan mengalir begitu saja masalah seputar keluarga dan pondok pesanten, pemuda yang duduk disamping Yai manshur itu, tampaknya akrab dengan Abah, ia tidak sungkan-sungkan menjawab pertanyaan dari Abah dan guyon bareng Abah. Sedangkaan Maknun hanya diam tak ada yang bisa ia lakukan selain menunggu dan diam.
“Kang Manshur, kalo begitu saya titipkan putriku ini kepadamu, tolong di jaga dengan baik, jangan sungkan-sungkan memarahinya kalo ia salah, biasanya ia suka menggerutu kalo dinasehati, wes sampeyan marahi saja nggak apa-apa”
“ah Abah…” ucap Maknun malu
“tenang saja Kang, pasti akan saya jaga dengan baik, kalo nanti salah biar saya serahkan sama anakku Ridlwan, biar dia yang urus”
Abah hanya mangut-mangut saja. Maknun tak habis pikir kepada sikap Abahnya yang agak aneh ahir-ahir ini, melihat pemuda yang tak lain adalah Gus-nya itu, membuat ia jadi nggak mood, sepertinya pemuda itu angkuh dan keras kepala, pasti orangnya nggak sabaran dan pemarah.

# # # #

            Ia diterima di kelas XI A, kemarin Gus Ridlwan disuruh Yai Manshur untuk mengambil berkas-berkas yang di bawa Maknun untuk didaftarkan ke unit pendidikan di PONPES Darut Taqwa. Layaknya santri baru pada umumnya Maknun tak ada teman dan duduk sendirian di bangku belakang. Pelajaran yang ia ikuti rasanya tidak ada yang masuk dipikirannya, ia tidak bisa konsentrasi di kelas.
“mbak… jangan diam aja dong, saya lihat tiga hari ini mbak  nggak ngomong sama sekali mungkin saya bisa membantu?” ucap seorang gadis berlesung pipi, manis. Maknun Cuma senyum terpaksa, ia sedang tak ingin di ganggu oleh siapapun.
“oh iya mbak, nama saya Shofi dari Lumajang, mbak namanya Churin In Maknunah ya, dari Surabaya kan?” sapanya kembali, rupanya ia bersimpati ingin mengenal Maknun.
“dari pada bengong di sini ayo aku ajak kamu ke perpustakaan pasti kamu suka”
“yuk…”
Mereka berjalan beriringan menuju perpustakaan yang berada di samping musholla. Benar apa yang dikatakan teman barunya itu, perpustakaan itu di desain apik dari mulai dinding di hiasai beberapa karya para murid dari mulai lukisan, kaligrafi, karikatur ataupun rangkaian bunga, dan juga penataan buku yang tersusun rapi serta menempel pada dinding sehingga ruangan Teresa lebih luas dan lebar sehingga memudahkan siswa membaca dengan tenang, dan yang menjadi daya tarik agar para siswa rajin ke perpustakaan adalah karena perpustakaan dilengkapi oleh oadiovisual yaitu televisi, ini nih yang buat siswa betah di perpustakaan berjam-jam karena bisa baca buku sambil nonton TV. Maknun cukup menikmati lingkungan barunya itu. Ia langsung menuju tempat buku-buku yang tertapa rapi di pojok-pojok ruangan. Setelah puas mengelilingi perpustakaan, Shofi anak Lumajang itu mengajaknya mengitari bangunan sekolah itu, dari mulai perkelas, lapangan olahraga, musolla, laboratorium dan kantor. Bangunan sekolah MA PONPES Darut Taqwa bisa di bilang cukup mewah karena merupakan bangunan dengan desain baru dan dilengkapi peralatan-peralatan modren sehingga mempermudah siswa untuk belajar. Beda dengan bangunan pondoknya, bangunan pondok terlihat tua dan kurang beraturan, mungkin karena bangungan tua dan tidak di rombak sehingga keadaannya lebih ‘mengenaskan’ dari pada bangunan sekolahnya.
            Pulang dari sekolah jam 13.00 para santri langsung menuju ke asramanya masing-masing. Maknun tampak sangat kecapaian baru saja ia mau merebahkan punggung di lantai, tiba-tiba…
“sepatunya siapa disini, kok kleleran sih, nggak rapi banget” seru seorang santri
Maknun menoleh kepada arah suara itu, ternyata anak tadi menunjuk sepatunya yang ia letakkan di atas almari sepatu. Dengan malas ia menjawab “itu sepatu saya Mbak, emang kenapa?” 
“kamu ini masih tanya lagi, sepatu itu taruh di dalam almari sepatu bukan diatasnya, ini kan sudah ada pengumumannya kenapa tidak kamu perhatikan” bentak santri tersebut. Maknun berjalan menghampiri almari sepatu yang berada di depan kamar, “maaf mbak saya tidak tahu, lagipula saya juga nggak punya kotak sepatu?”
“kalo nggak punya kotak sepatu ya lapor, nggak hanya diam saja, ini malah sepatumu ngotorin lantai, ayo bersihkan!!”
Dengan hati merana ia mengambil sapu kemudian membersihkan kotoran itu, Maknun hanya diam, sebenarnya ia ingin menjerit , baru tiga hari ia di pondok ada saja kejadian-kejadian yang membuat ia tambah kesel.
“lo mbak Maknun kenapa siang-siang nyapu emang ada apa?” sapa Shofi yang tiba-tiba lewat di depannya.
“ya…ingin bersih-bersih aja Mbak, ada yang kotor jadi harus dibersihkan” ucapnya datar, sambil melempar senyum manisnya.
“oh gitu… yang bersih ya Mbak…” ucapnya sambil berlalu dari hadapan Maknun.
Shofi teman barunya itu memang teman sepondok tapi tidak sekamar, kamarnya ada di sebelah kamarnya selisih dua kamar. Anaknya mudah bergaul dan peka terhadap lingkungan ia sangat perhatian dengan sekitar, kemudian ia membantu Maknun membersihkan tempat itu, ia meresa bersyukur karena masih ada orang yang mau menolongnya.
Kegiatan setelah solat Ashar adalah Takroruddurus, yaitu kegiatan untuk memfasilitasi santri agar mengulang kembali pelajaran yang telah diajarkankan di sekolah disertai pembimbing pada masing-masing tingkatan kelas. ia bersama Shofi satu kelompok karena mereka memang sekelas. Sebelum mulai belajar terdengar mikrofon dari kantor pengurus membaca doa sebelum belajar secara sentral. Kegiatan ini selesai jam lima tepat, setelah itu para santri melanjutkan kegiatannya masing-masing, adayang makan, ada yang ke kantin dan ada yang ke kamar karena belum mandi.

# # # #

Terdengar bel kegiatan berbunyi, sekarang waktunya kegiatan diniyyah yaitu belajar ilmu agama dengan di bimbing santri-santri senior baik ustadz atau ustadzah.
“yuk Mbak Maknun berangkat…” ajak Shofi menjemput Maknun dikamarnya.
“kita sekelas lo Mbak, ntar duduk di sebelahku ya”. Maknun hanya mengangguk dengan menyunggingkan senyum manisnya. Mereka menuju ruang diniyyah yang berada di sebelah ndalem Yai Manshur, ada beberapa ruangan kelas di sana, bangunannya bertingkat dua.
“kita kelas berapa Mbak…”
“kelas 2 Ulya Mbak, kelas Ulya itu untuk anak setingkat aliyah, kalo yang tinggat Tsawiyah namanya kelas Wustho, anak setingkat Ibtidaiyyah namanya kelas I’dadiyah” ucap Shofi menjelaskan.
“trus sekarang waktunya siapa Mbak??”
“sekarang waktunya Gus Ridlwan, putranya Yai Manshur yang pertama, orangnya cakep dan gagah lo mbak, selain itu pintar lagi, karena beliau alumni pondok salaf  Lirboyo setelah itu kuliyah di luar negri, alim sekali pokoknya” ucap Shofi mengebu-gebu, sepertinya Gus Ridlwan itu juga pujaannya “para santri putri disini semua pada nge-fans ma beliau, karena beliau itu orangnya ramah dan perhatian Mbak, meskipun kelihatannya beliau tampak seperti orang serius yang susah bergaul. Tapi kalo udah kenal, beliau orangnya fair dan penuh perhatian” Maknun hanya bisa mencibir dalam hati, mempertanyakan kebenaran perkataan teman barunya itu.“ beliau juga Mbak yang menghendel semua kegiatan pondok, maju dan mundur pondok ini  berada dalam tanggung jawab beliau, karena memang beliau disiapkan oleh Abah Yai menggantikan posisi pengasuh di pondok ini”.
“emangnya Gus Ridlwan ngajar apa Mbak?”
“ngajar Qiroatul kitab dan Syawir[15] Mbak…. Wah jangan Tanya kalo udah pelajaran beliau, kita nggak bisa nyantai-nyantai harus serius karena pertanyaan beliau itu maut, sulit-sulit dan mbuleti[16] beliau suka memancing kita dengan pertanyaan-pertanyaan yang menjebak, sepertinya benar setelah kita jawab, beliau malah menyalahkan dan beliau memberi argument yang lain. Wah pusing deh. Apalagi Syawir wah itu malah tambah parah, kita di tuntut untuk mengupas isi kitab dengan detail setelah itu dikontekstualkan dengan problem kekinian yang belum terjawab dalam kitab. Apalagi sekarang sudah masuk bab Haji Mbak, kita tambah kesulitan. Tapi meskipun kelihatan serius namun ketika dalam suasana belajar kita sangat menikmati karena sangat enak di bimbing oleh orang yang  memang sudah ahlinya, selain itu kan gurunya cakep hehehe…”
“wah Mbak Shofi pasti suka sama yang ngajar, iya kan” goda Maknun
“itu tuh beliau rawoh yuk masuk….”
Suasana menjadi hening, sepi banget rasanya. Maknun dan Shofi duduk di bangku nomor dua dari bangku guru. Setelah mengucap salam dan membaca doa sebelum belajar Gus Ridlwan memulai pelajaran. Kemudian tiba-tiba ada yang nyeletuk..
“Gus… ada santri putri baru, kenalan dulu Gus…” terdengar suara dari belakang
“oh iya… siapa?” ucap Gus Ridlwan datar “silahkan memperkenalkan diri tapi jangan lama-lama karena hari ini waktunya qiroatul kitab bukan perkenalan” ucapnya dengan nada yang sama. Maknun jadi ragu untuk memperkenalkan diri, karena kelihatannya Gus Ridlwan tidak berkenan, selain itu beliau juga sudah mengenalnya karena beliau juga yang ikut menyambutnya waktu pertama ia mondok dulu.
“nama saya Churin In Maknunah, asal Surabaya, cukup. Trimakasih” ucapnya sambil berdiri ditempat duduknya
“lo kok singkat banget to Mbak, TTLnya berapa, atau udah punya pacar belom?” celetuk anak yang tadi menyuruhnya berkenalan, sepertinya ia tidak ambil pusing dengan apa yang disampaikan Gus Ridlwan tadi. Karena Gus Ridlwan hanya diam, Maknun memberanikan diri angkat suara meskipun agak ragu.
“saya lahir di Surabaya…” belum sempat ia menuntaskan kalimatnya…
“siapa suruh kamu ngomong lagi, sudah cukup kenalannya. Sekarang waktunya pelajaran!” ucap beliau masih dengan nada datar. Jantung Maknun seperti mau copot, ia tidak mengira mendapat sambutan yang begitu sengit dari orang yang baru dikenalnya, hal itu menambah kebenciannya pada Gus Ridlwan, serasa penjelasan Shofi yang panjang lebar mengenai kebaikan Gus-nya tidak berguna sama sekali. Suasana di kelas berubah mencekam, tidak biasanya Gus Ridlwan bersikap seperti itu, ini diluar kebiasaan, Gus Ridlwan yang lembut dan perhatian berubah menjadi tegas dan keras. Maknun hanya bisa meratap dalam diam, sebenarnya ia ingin keluar dari kelas dan menangis, ia merasa dipermalukan dihadapan santri-santri yang lain, padahal dia adalah santri baru yang tidak tahu apa-apa, seharusnya santri baru itu di bimbing dan diarahkan, tapi kali ini malah sebaliknya.
            Maknun menangis tersedu-sedu diatas bantalnya, Shofi mencoba menenangkan namun Maknun tak kunjung berhenti menangis, ia masih terus saja menangis. Shofi sampai kebingunan harus berbuat apa.
“Mbak Maknun… sudahlah jangan terlalu di pikir, tadi itu tidak sengaja… Gus Ridlwan hanya bercanda tidak sungguhan, tidak mungkin Gus Ridlwan yang lembut berubah seperti itu, itu pasti cuma becanda saja Mbak..?”
“tapi hal itu kelewatan Mbak, itu bukan becanda itu namanya mempermalukan orang di depan umum, katanya orang alim alumni timur tengah kenapa masih tidak punya sopan santun sama sekali, aku malu Mbak Shof, orang itu adalah pertama kalinya orang yang menghinaku di depan umum, aku tak akan memaafkannya” ujarnya penuh dendam
“masya Allah Mbak Maknun, nggak baik bicara seperti itu, baik buruknya beliau, beliau masih tetap guru kita, kita harus tetap menghormatinya” ujar mbak Shofi menenangkan Maknun yang sedang tersulut emosi.
“ya sudah kalo begitu, Mbak Maknun tenangkan diri dulu, saya mau pulang ke kamar, assalamu alaikum”
“wa alaikum salam.

#  # # #
“kamu ngajar putrinya Yai Thoha to Le?”[17] Tanya Yai Manshur sehabis makan dari dapur, tampak Gus Ridlwan sedang mutholaah kitab di perpustakaan ndalem.
geh Bah” jawabnya singkat sambil menoleh pada Abahnya yang kini duduk di hadapannya
“gimana dia” Tanya beliau lagi
“gimana apanya Bah” timpal Gus Ridlwan masih dengan nada datar
“ya di kelas itu bagaimana?”
“anaknya cengeng Bah”.
Abah Manshur kaget dengan jawaban putranya yang seperti itu.
“cengeng gimana maksudmu” Tanya Yai Manshur makin penasaran
“aku cuma melarangnya agar tidak terlalu memperpanjang perkenalan tapi dia tidak menghiraukan, aku mengingatkannya sekali dia malah tersinggung, bukankah itu yang disebut cengeng?”
“masya Allah Wan… Ridlwan, pasti kamu yang keterlaluan, nggak mungkin hanya diperingatkan sekali lalu dia tersinggung, mungkin kamu yang terlalu keras atau malah menghinanya di depan anak-anak”
mboten[18] Bah, sikapku biasa saja pada semua santri, tidak membedakan baik anak jelek cantik, putra kiai atau tidak”
“aku perlu bertanya langsung padanya biar jelas”
“ya silahkan saja Bah”

Di Sekolah
            Maknun duduk-duduk santai mencoba bersikap wajar, meski baru mengalami kejadian yang menyedihkan. Ia duduk dibangkunya dengan tenang, sekarang ia mulai menikmati sekolah barunya, sekolah seperti rekreasi baginya, karena ia merasa bebas dari pondok yang selalu dihantui oleh perasaan kesal dan jenuh. Di sekolah ia mencoba untuk membuang pikiran itu jauh-jauh meskipun hanya sementara, seperti kali ini ia duduk bersama siswa yang lain asyik nonton televisi.
“Mbak Maknun, tumben nonton TV, lagi jenuh ya” sapa Shofi yang tiba-tiba menghampirinya
“yah begitulah, biar nggak terlalu stres, ntar jadi struke, hahaha”
“ah, Mbak Maknun bisa saja”
Keduanya duduk manis di depan layar kaca televisi sampai bel masuk pelajaran selanjutnya berdering.
            Setelah jamaah ashar yang di imami langsung oleh Bu Nyai Hamidah, istri Yai Manshur. Maknun berjalan menuju kamar dan segera menuju ke kamar mandi, karena dia belum sempat mandi sebelum jamaah tadi. Masih ada waktu 15 menit sebelum bel kegiatan berbunyi. Tiba-tiba ada suara panggilan dari mikrofon menyebut namanya
“panggilan ditujukan kepada saudari Churin In Maknunah, di harap kedatanggan ke ndalem, di tunggu oleh pengasuh” terdengar suara mbak-mbak pengurus
Niatnya yang mau mandi jadi urung, dia langsung balik ke kamar dan berjilbab rapi memenuhi panggilan Abah Yai.
“Maknun… sini Nduk?” panggil Yai dari ruang tamu ndalem. Maknun berjalan berlutut di hadapan Yai Manshur
dalem[19] yai…”
“maaf  Nduk, tiba-tiba Abah memanggilmu, Abah ingin Tanya tentang keadaanmu sekarang, Abah sudah janji dengan Abahmu untuk menjaga kamu baik-baik” Tutur Yai Manshur penuh perhatian
“saya baik-baik saja Yai, tidak ada yang perlu di khawatirkan” ungkapnya polos
“kamu sudah krasan Nduk?”
“Alhamdulillah Yai, saya krasan di sini, di sini sangat menyenangkan”
“Abah dengar kamu ada masalah dengan anakku Ridlwan, apa benar?”
“maaf Yai, saya kurang faham dengan pertanyaan jenengan, saya merasa selama ini tidak pernah punya masalah dengan siapapun, apalagi dengan Gus Ridlwan”
“oh begitu yah… Alhamdulillah kalo kalian baik-baik saja, kita ini kan sama-sama saudara jadi harus mempererat tali persaudaraan, bukan begitu Nduk?”
geh Yai” dalam pikiran Maknun menggantung banyak pertanyaan akan sikap Yai Manshur yang tiba-tiba memanggilnya hanya untuk menanyakan keadaannya, dan motifnya adalah mengenai hubungannya dengan Gus Ridlwan. Sebenarnya ada apa ini? apa yang telah terjadi? Apakah Gus Ridlwan ngomong aneh-aneh tentang dirinya?.
Terdengar suara orang membuka pintu dari depan, rupanya Gus Ridlwan pulang dari ngaji di pondok putra.
“Wan… Ridlwan, sini Le?” sapa Yai ketika Gus Ridlwan melewati depan mereka. Gus Ridlwan nampak tenang.
dalem Bah”
“Abah sudah dengar sendiri dari Maknun kalo dia baik-baik saja, Abah lega rasanya. Kamu kalo ngajar jangan jahat-jahat, nanti muridmu malah kabur” ucap Yai manshur disertai guyon
geh Bah?” ucapnya datar, Gus Ridlwan sama sekali tidak menapakkan ekspresi apapun di hadapan abahnya. Bagaikan seorang santri yang manut pada kiainya. Sebenarnya Maknun kagum akan kepandaiannya berakting bersikap begitu wajar di hadapan Abah tanpa bersalah sama sekali.
“ada apa tadi di panggil Yai??” Tanya Shofi penasaran
“nggak ada apa-apa kok Mbak, beliau cuma menyampaikan salam dari Abah dan Umiku itu saja?” jawab Maknun sekenanya
“ah masak cuma itu saja, kelihatannya sepele banget deh, terus tadi juga lama banget kamu di ndalem, emang ada apa to Mbak, pasti sampeyan menyembunyikan sesuatu dari saya, jujur saja kita kan teman, kalo itu rahasia insya Allah aku bisa pegang janji kok”
Dengan sedikit ragu Maknun menceritakan kejadian-kejadian yang membuatnya risau selama ini, dan apa yang disampaikan Yai Manshur padanya tadi sore.
“wah kelihatannya ada yang tidak beres Mbak, kayaknya ada sesuatu yang direncanakan oleh ndalem, dan obyeknya itu sampeyan Mbak...” ungkapnya memberi kesimpulan
“aku juga berfikir seperti itu Mbak, tapi aku tidak berani menyimpulkan, aku takut su’udzon dengan beliau-beliau”
“mungkin Gus Ridlwan bisa ngasih jawaban Mbak”
“aduh Mbak Shofi, nggak mungkin hal seperti ini aku sampaikan pada orang itu, malah aku nanti yang di kira memperbesar masalah, jangan deh”
“Mbak Maknun, mungkin beliau bersikap seperti itu, karena beliau juga ikut andil dalam masalah ini, jadi beliau sudah tahu medannya, lah sedangkan sampeyan nggak tahu apa-apa kan, makanya hanya bisa menebak-nebak dan mengira-ngira.”
Percakapan dua sahabat itu berahir tanpa ada kesimpulan pasti, mereka tidak berani berbuat lebih hanya sekedar curiga.

# # # #

“ntar malam musyawaroh bab apa Mbak?” Tanya Maknun pada Shofi sewaktu di sekolahan
“ehmm… insya Allah bab haji”
“syukron..”
Maknun mencoba memahami teks-teks kitab Fathul Qorib bab haji yang akan di musyawarohkan pada diniyyah nanti malam.
Gus Ridlwan sudah rawoh[20] dihadapan beliau terbuka syarah Fathul qorib yaitu al-Bajuri… sambil seksama mendengarkan para santri berdiskusi tentang bab haji
“jadi haji menurut bahasa adalah menyengaja, sedangkan menurut syara’ adalah menyengaja ke Baitul Haram untuk beribadah. Sedangkan dalam haji di sini banyak sekali syarat yang harus di penuhi, meskipun termasuk rukun islam yang kelima tapi Allah hanya mensyaratkan haji hanya diperuntukkan pada orang yang mampu atau dalam bahasa al-Qur’annya adalah istitho’ah……” setelah selesai berdiskusi, Gus Ridlwan kemudian melontarkan pertanyaan.
“Churin In Maknunah, saya mau bertanya sama kamu, masih seputar bab sedang kita kaji malam ini, saya pernah mendengar kabar bahwasannya pemerintah Arab Saudi akan mengeluarkan sebuah peratuan mengenai pembatasan usia calon jamaah haji, yaitu calon jamaah haji yang berumur kurang dari 12 tahun atau melebihi usia 65 tahun tidak diperbolehkan melaksanakan ibadah haji, nah yang saya ingin tanyakan apakah hal ini diperbolehkan menurut syara’ padahal kalo kita lihat dalam iklim ke-Indonesia-an, mereka yang ibadah haji adalah para lansia, apakah itu bukan berarti mencegah seseorang melakukan perintah agama islam…” jelas Gus Ridlwan panjang lebar.
Maknun hanya bisa tercengang ia tidak habis pikir akan dilontari pertanyaan yang sama sekali belum pernah tercetus dalam pikirannya, ia nampak berfikir keras.
“anu Gus, mungkin hal itu hanya bersifat peringatan oleh pemerintah Arab Saudi, namun bila hal itu benar-benar diterapkan saya tidak setuju, karena itu namanya menghalangi orang beribadah”
“apakah kamu tidak faham dengan pertanyaan saya, hemm? Saya tanya tentang bagaimana syara’ atau fikih menyikapi tentang hal ini bukan dengan pertimbangan kamu?”
Lagi-lagi ia kena semprot oleh Gus Ridlwan, ia jadi gusar dan malas menjawab pertanyaannya
“ya itu jawaban saya, kalo jenengan kurang setuju, Tanya saja sama yang lain” jawabnya penuh kemenangan. Mimik Gus Ridlwan tidak menyiratkan apapun ia tidak kaget akan gertakan balik dari Maknun, hanya diam kemudian meneruskan pelajaran.
Sekarang giliran Beliau yang menerangkan, tanpa menyinggung sama sekali tentang pertanyaan yang barusan beliau lontarkan pada Maknun padahal ia sangat penasaran. Di ahir pelajaran ia memberanikan diri mengangkat tangan.
“maaf Gus Tanya… saya masih penasaran dengan jawaban pertanyaan  jenengan tadi, mohom dijelaskan..”
“iya Gus, kami juga penasaran” sahut yang lain
“saya tidak punya banyak waktu lebih baik kamu sendiri yang cari jawabannya saya tunggu minggu depan” ucapnya sambil berlalu meninggalkan kelas.
“hah… kenapa jadi aku sih yang kena batunya, siapa dulu gurunya, kenapa aku yang harus repot-repot cari jawabannya, dasar usil, orang nggak jelas” gerutu Maknun bersungut-sungut.
Maknun harus bekerja keras untuk mencari jawaban yang tepat atas pertanyaan itu, literatur apapun ia pelajari demi menemukan jawaban itu, namun  dari apa yang ia pelajari tidak ada yang langsung menerangkan tentang pembatasan usia calon ibadah haji, ia jadi pusing sendiri. Ahirnya ia putuskan untuk Tanya langsung pada Mas Irfan mungkin kakanya itu bisa membantu.
“Mas aku ada pertanyaan buat  sampeyan di jawab ya…?”
 “ya kalo aku bisa Nun…”
Maknun mulai menjelaskan pertanyaan dari Gus Ridlwan itu. “trus gimana jawabannya Mas?
“aslinya Nun, pertanyaan masalah itu sudah di bahas pada forum Bahtsul Masail pondok pesantren se Jawa tepatnya di Trenggalek, sebenarnya banyak pro-kontra masalah itu, secara nash mungkin hal itu tidak ada dan bahkan tidak diperbolehkan, namun melihat konteks sekarang banyak sekali muncul masalah yang kian lama kian parah kalo tidak di berantas dari sumbernya. Seperti juga masalah pembatasan umur calon jamaah haji, pada usia 65 ke atas itu sangat berisiko bagi orang-orang yang akan melakukan ibadah haji, mereka akan mengalami masyaqqoh dalam pelaksanaannya dan itu tidak hanya dirasakan oleh para jamaah namun panitia haji juga akan repot juga, oleh karena itu musyawaroh kemarin memutuskan untuk memperbolehkan adanya pembatasab usia CJH (calon jamaah haji) dengan mempertimbangkan kemaslahatan dengan matang-matang. Makanya kamu itu yang sering baca kitab atau mutholaah gitu, biar nggak kuper, masak santri gitu saja nggak bisa jawab?” ejek mas Irfan
“aku kan belum waktunya bahas masalah gituan  Mas… aku juga punya kesibukan yang lain”
“hahahaha… bukan belum waktunya Nun tapi kamu yang malas, kayak orang sibuk aja…”
Kemudian pembicaraan keduanya berakhir, Maknun kaget melihat angka dalam durasi wartel di depannya mendekati angka 20.000. “hah… apa-apaan ini”


# # # #

Sehabis sekolah mbak fitri santri ndalemnya Yai Manshur memanggilnya ketika ia baru saja mau membereskan peralatan sekolahnya.
“Mbak Maknun, sampeyan di panggil Gus Ridlwan sekarang…”
Maknun langsung menuju ndalem setelah memasukkan buku-bukunya secara serampangan ke dalam almari dan berlari menuju ndalem. Ternyata Gus Ridlwan sedang duduk manis di dapur sambil menghabiskan sisa makanannya yang tinggal separuh. Maknun sudah duduk di depan dapur dari tadi, namun Gus Ridlwan tidak kunjung memanggilnya. Dan sepertinya beliau menikmati makanannya yang tinggal beberapa suap itu tanpa menghiraukannya. Karena dari tadi hanya dicuekin saja, Maknun mencoba untuk memotong aksi Gus Ridlwan yang sok nggak ngrasa di tunggu orang.
“assalamu ‘alaikum Gus…” ucapnya dengan nada cukup keras
Tidak terdengar jawaban dari Gus Ridlwan. Ia mengulangi salamnya lagi
“assalamu alaikum Gus Ridlwan” ia sebut namanya sekalian biar ngrasa
Sejurus kemudian Gus Ridlwan menoleh kearah Maknun yang duduk ngelesot[21] di depan dapur. “iya tunggu sebentar” jawab beliau menimpali, lalu membereskan alat-alat makan yang barusan di buat makan.
“sini masuk… gimana jawaban pertanyaanku kemarin, sudah kamu cari…?” ucap beliau tanpa memandang kearah Maknun. Sepertinya ia tak ada, meskipun sebenarnya agak dongkol dengan orang yang duduk di depannya itu. Untung saja ia sudah di kasih tahu jawabannya oleh Mas Irfan jadi gampang deh.
“ehm… begini Gus, memang masalah itu menuai banyak kontroversi diantara para ulama’ ada yang pro dan kontra……(bla..bla...bla)” Maknun menjelaskan seperti yang dikatakan Mas Irfan padanya.
“jadi kesimpulannya Gus… pembatasan usia calon jamaah haji diperbolehkan asalkan di dasari maslahah dan pertimbangan yang matang” ucapnya mengakhiri penjelasannya yang panjang lebar.
“bukankah maslahah yang ditetapkan itu adalah pertimbangan beberapa orang yang mungkin juga tidak sesuai dengan pertimbangan pihak lain, tidakkah hal itu sama saja dengan keputusan sepihak?” pertanyaan-pertanyaan Gus Ridlwan sangat membingungkan, sebenarnya beliau sudah mengetahui apa sebenarnya jawaban atas pertanyaan yang beliau lontarkan, tapi beliau hanya ingin menguji Maknun.
Sambil menarik nafas panjang Maknun mencoba menjernihkan pikiran untuk menjawab pertanyaan Gus Ridlwan yang terkesan di buat-buat itu, ia yakin jawabannya tadi sudah benar, tapi berhubung Gus Ridlwan saja yang aneh jadi dipersulit.
“begini Gus, orang itu punya pendapat dan pemikiran masing-masing dan pasti pendapat setiap orang itu berbeda, nah kalo keputusan itu memang adalah hasil musyawarah dari orang-orang yang dianggap amanah dan bertanggungjawab serta mereka tidak mungkin berkhianat, maka kita harus mengikutinya, kalo kita mendengarkan saja omongan orang-orang, tanpa dasar yang jelas pasti akan tidak ada titik temu. La wong, dikalangan kita sendiri yaitu pesantren pasti sudah tidak asing dengan perbedaan pendapat dikalangan ulama-ulama kita, mereka berselisih pendapat bukan karena untuk menang-menengan saja tapi untuk kemaslahatan umat, apalago dengan perbedaan pendapat itu pastinya terdapat hikmah didalamnya yaitu bisa mempermudah urusan umat” jawabnya berapi-api, ia hampir tak sadar kenapa ia bisa bicara seperti itu, padahal ia sama sekali belum pernah belajar masalah perbedaan pendapat, rasanya lidahnya seperti berjalan begitu saja untuk menjawab pertanyaan dari Gus Ridlwan. Gus Ridlwan hanya mangut-mangut mendengarkan penjelasan Maknun.
“ya sudahlah kalo kamu tetap pada pendirianmu… silahkan keluar”
“lo Gus, saya belum selesai ngomong, masih ada yang perlu saya tanyakan…”
“kalo menurut Jenengan bagaimana?”
“aku ikut saja… sudahlah nggak usah di bahas lagi…” ucap beliau mengakhiri pembicaraan lalu keluar meninggalkan Maknun yang masih tercengang dengan sikap Gus-nya yang aneh dan sok cool itu…
“ihh dasar orang aneh” ucapnya bersungut-sungut
Baru saja ia mau keluar dari dapur, tiba-tiba Bu nyai datang dari kamar menuju dapur.
“loh Maknun habis ngapain di sini” sapa beliau kaget
“itu Bu, tadi habis di panggil sama Gus Ridlwan suruh menjawab pertanyaan yang tadi malam beliau tanyakan ke saya…”
“ohh…”jawab Bu nyai singkat. “ya sudah ndak apa-apa aku nggak marah kok” ucap Bu nyai ketika melihat wajah Maknun yang berubah menciut takut kena marah, “oh iya Ibu ada rizqi sedikit, tolong kamu bawa dan kasihkan ke teman-teman yah…” ucap Bu nyai sambil mengambil kotak jajan kemudian diberikan pada Maknun. Keluarga Yai Manshur semuanya memanggil Maknun sengan nama depannya, tidak seperti keluarganya atau teman-temannya yang lebih memilih nama Maknun sebagai nama panggilan.
            Begitulah Maknun gadis cantik nan ayu serta lemah lembut, orangnya sesuai dengan nama pemberian Abahnya Churin In Maknunah, beliau memberikan nama itu untuk putri bungsunya, nama itu beliau ambil dari surat al-Waqi’ah yang berbunyi, wa huurin iin, ka amtsaalil lu’luil maknun, yang artinya dan bidadari yang matanya sangat indah seperti permata yang terpendam. Namun beliau singkat menjadi Churin In Maknunah. Memang sulit dipungkiri bahwa putri KH. Thoha Adnan yang paling bungsu ini adalah seorang gadis cantik jelita, dari wajah dan perawakan tampak karakter wanita muslimah sejati, maka tidak salah kenapa banyak pemuda yang kepincut dengan kecantikan dan keanggunan gadis 16 tahun ini. Di samping itu dia adalah gadis cerdas dan peka terhadap lingkungan, ia akan merasa risih dengan pemandangan ganjil yang dijumpainya, dan tak segan-segan melakukannya sendiri bila tidak ditemui orang yang bisa membantunya. Pekerjaan rumah sebisa mungkin ia kerjakan sendiri seperti memasak,mencuci, ngepel dan lain sebagainya meskipun sebenarnya Umi melarangnya, karena masih ada santri-santri ndalem yag siap membantu tapi ia tak pedulikan itu. Mungkin ini adalah salah satu alasan Yai Thoha menyerahkan putri bungsunya pada Yai Manshur untuk dijadikan salah satu anggota keluarga, di samping alasan-alasan yang lain yang lebih penting. Tapi sesempurna-sempurnanya seorang manusia itu pasti punya kekurangan, ia sebagai anak bungsu masih sering manja kepada Uminya, mudah tersinggung dan lain sebagainya.
Dari belakang selambu ada sepasang mata yang terus saja mengawasinya, ingin selalu berada disampingnya dan memandangnya, tapi ia takut dan ragu apakah ia diterima atau tidak, perasaan yang sangat ingin ia sampaikan pada gadis pujaannya, namun ia tak bisa berkutik karena gadis itu bagai mutiara yang terpendam yang sulit untuk ditemukan.

# # # #

            Kali ini adalah pelajaran nahwu yang dikaji oleh Ust. Musthofa. Beliau adalah termasuk santri senior PONPES Darut Taqwa, beliau seangkatan dengan Gus Ridlwan sewaktu Tsanawiyah dulu. Sekarang membahas tentang  bab Dlorof.
“anak-anak sekalian dlorof dalam bahasa kita diartikan dengan kata keterangan yaitu ada kalanya keterangan tempat atau keterangan waktu, berhubung hanya menduduki jabatan sebagai keterangan sehingga Dlorof masuk dalam kategori kalam fudlah yaitu kata yang berfungsi sebagai tambahan atau keterangan. Contohnya sebagaimana zaidun qooimun  amamal madrosati (dlorof makan/tempat), roaitu bakron aanifan (dlorof zaman/waktu)” beliau diam sebentar kemudian melanjutkan keterangannya “apa anak-anak lawan dari kalam fudlah?”
kalam umdah….” Jawab para santri serentak
“betul… lawan dari kalam fudlah adalah kalam umdah yang artinya lafadz itu harus ada keberadaannya kalo tidak ada salah satunya maka tidak bisa mufidah atau tidak bisa dipahami, jadi kalo bisa disimpulkan umdah itu adalah kebutuhan primer dan fudlah itu adalah kebutuhan sekunder, begitu juga bisa diumpamakan seperti laki-laki dan perempuan mereka tidak akan bisa dipisahkan keberadaan keduanya saling membutuhkan sehingga suatu saat pastilah seseorang itu akan menikah dengan pasangannya masing-masing….”
Guru ini memang hebat, beliau di samping alim dalam ilmu alatnya namun beliau juga mampu mengkonstektualkan ilmu yang sepertinya jumud (ilmu pasti) menjadi hidup dan menyentuh. Memang benar apa yang dikatakan oleh para guru-guru kita terdahulu, para ulama pengarang kitab itu, mengarang tanpa adanya tendensi sama sekali namun penuh dengan kearifan dan keihklasan sehingga ilmu-ilmunya bisa kita nikmati hingga sekarang dan tidak akan lapuk di telan zaman. Maknun tak sadar kalo dirinya kini jadi pusat tontonan anak-anak sekelas karena melamun tak karuan.
“Mbak Maknun…Mbak Maknun…” ucap Shofi menegur
“Maknun apa yang kamu lakukan….?” Tegur Ust. Musthofa keras
Dengan wajah linglung ia sadar dari lamunannya
“hah itu ustadz bahas Dlorof…”ia nyeletuk begitu saja
Sontak saja anak-anak sekelas pada ketawa-ketiwi.
“aduh Mbak Shofi kok aku nggak dikasih tahu sih, kan malu…”
“ya ampun Mbak… ya dari tadi udah aku kasih tahu tapi Mbak nggak bergeming”
“kayaknya kamu udah kepengen nikah ya Maknun…” goda Ust. Musthofa “itu tuh banyak  jejaka di depan yang nganggur” godanya lagi
“Huuuu…..”suara anak sekelas pada koor

# # # #


Hari Jum’at
            Waktunya roan dan bersih-bersih kamar. Para santri seluruhnya dikerahkan untuk roan tempat-tempat umum dan kamar, habis ngaji al-Qur’an ba’da Shubuh para santri harus berada di tempat kerjanya masing-masing sesuai yang telah diumumkan di pos info pondok. Sungguh kebersaman yang mengagumkan, para santri dengan senang hati bergotong royong membersihkan pondok tanpa ada upah ataupun konsumsi. Maknun kebagian dapur pondok, itu artinya ia harus ikut masak dengan para khodimah memasakkan santri sepondok. Ia bersama Luthfi anak kamar al-Maunah 1 dan Anik anak al-Barokah 3, bertugas bantu-bantu di dapur, santri PONPES Darut Taqwa putri seluruhnya mencapai 500-an santri jadi  harus masakin anak segitu banyaknya, yang tukang tidak hanya mbak-mbak ndalem tapi kang-kang juga ada sebagian, mereka disuruh bantu angkat-angkat barang berat seperti ngambil karung beras dan belanja bahan masakan di pasar. Menu pagi itu adalah sayur sop dan tempe bumbu bali. Setelah selesai masak biasanya dikirimkan dulu ke ndalem agar orang ndalem juga bisa mencicipi makanan santri… kali ini giliran  Maknun yang disuruh nganterin ke dapur ndalem.
“ ngapain kamu di sini….?” Seru  suara dari seberang mengagetkan
Maknun sangat kaget, sampai-sampai sayuran yang ia pegang mau tumpah. Ternyata Gus Ridlwan si orang aneh itu yang mengagetkannya “dasar orang aneh nggak liat apa aku lagi ngapain, sampek mau tumpah lagi” gerutu Maknun dalam hati sambil mencibir.
“di Tanya kok malah bengong…hmm” ucapnya sambil berjalan menuju meja makan melihat menu yang telah tersedia
“ini kamu yang masak… emang bisa?” ucapnya dengan nada menghina
“oh … sangat bisa…?” ucapnya penuh percaya diri
“oh iya… kalo gitu tolong masakin saya makanan kesukaanku dendeng dan engkung bisa nggak?” ucap Gus Ridlwan menantang
“hah makanan apaan tuh Gus, makanan orang pedalaman kali ya…aku kok nggak pernah tahu” ucapnya  menimpali
“dasar kamu saja yang orang kampung jadi nggak pernah makan makanan enak” ejeknya lagi “jangan banyak omong buktikan kalo kamu bisa”
“lebih kampungan mana antara orang Surabaya sama orang Pasuruan?” timpalnya lagi
Yai Manshur dan Bunyai Hamidah tiba di dapur, kaget melihat Gus Ridlwan dan Maknun  berada di dapur.
“lo ngapain kalian berdua di sini, nggak boleh lo bukan mahrom berduaan di tempat sepi” ucap Abah Yai Manshur mengingatkan
mboten[22] Bah” jawab Gus Ridlwan cepat
mboten Yai” jawab Maknun bareng dengan Gus Ridlwan serempak, membuat Yai Manshur dan Bunyai tersenyum melihat kelakuan putranya dan santrinya seperti orang yang terkena vonis. Gus Ridlwan tampak lucu dengan ekspresi muka seperti itu. Maknun hanya bisa tersenyum dalam hati “rasain…salah sendiri  buat gara-gara saja”. ucapnya dalam hati
“oh kamu tadi to Nduk yang bawa makanan ini dari dapur?” Tanya Bunyai lembut
geh Bunyai…”jawabnya sambil menunduk
“ayo sini kita makan bersama…” ajak Bunyai
“trimakasih Bu… saya harus balik ke kamar…” ucapnya sopan
“ya ntar saja… sekarang makan dulu… yuk duduk sini…”
Mau tak mau ia ikut duduk bersama keluarga kiainya, ia duduk disamping Bunyai sedangkan Gus Ridlwan duduk disamping Abah Yai
“kamu tadi habis ngapain Nduk, sama Gus-mu”
“tidak ngapa-ngapain Yai, Cuma nganterin hidangan trus Gus Ridlwan datang dan suruh saya masak makanan kesukaannya…” ucapnya jujur
Le… ngapain kamu suruh-suruh dia masakin makanan buat kamu, nggak sopan. Dia itu putrinya temannya Abah, jangan kamu perlakukan seperti temanmu sendiri” nasihat Abah. Gus Ridlwan hanya tertunduk tidak berani menatap wajah Abah. Maknun merasa sangat bersalah nggak tega melihat Gus Ridlwan dimarahi Abahnya sendiri. Pengen sekali ia membela Gus Ridlwan tapi ia nggak berani.
“sudah…sudah… ntar nggak jadi makan, ayo di makan… Nduk ngambil saja lauk yang kamu suka” ucap Bunyai mengakhiri pertengkaran bapak dan anak itu.
Suasana sarapan pagi menjadi hening, tidak terjadi obrolan ringan yang biasanya membumbui suasana sarapan pagi.
“oh iya…emang tadi kamu di suruh masak apa sama Ridlwan…” ucap Bu nyai memecah keheningan
“saya juga kurang tahu Bu, itu jenis makanan apa… tadi Gus Ridlwan bilangnya dendeng sama engkong atau engkung gitu…”
“hahaha…” Bu nyai tertawa melihat keluguan Maknun tidak tahu nama jenis makanan “oh itu… engkung Nduk, makanan kesukaan Ridlwan dari kecil, ayam di masak utuh dan di bumbu kuning, ya sudah ntar Ibu ajari kamu, sekalian masakin buat Ridlwan…” ucap Bu nyai bijak.
            Karena Gus Ridlwan minta yang aneh-aneh jadi ribet deh masaknya, mereka harus ke pasar dulu untuk membeli bumbu-bumbu yang dibutuhkan, dengan diantar Gus Ridlwan ke pasar naik mobil, Bu nyai membeli berbagai macam bumbu yang sama sekali Maknun belum pernah tahu, sesekali Bu nyai menjelaskan bumbu-bumbu yang mereka beli dan bercerita tentang pengalaman-pengalaman beliau, menambah keakraban mereka. Sedangkan Gus Ridlwan masih setia menunggu di parkiran. Tak lupa setelah belanja sayuran Bunyai mengajak Maknun ke toko baju dan membelikannya baju. Di pikiran Maknun masih terbayang kejadian yang baru saja ia alami, melihat Gus Ridlwan dimarahi oleh Abahnya sendiri di depan matanya. Pasti beliau sangat malu dan terpukul.
            Jam setengah sebelas baru keluar dari pasar, Gus Ridlwan menyetir dengan tenang tidak bicara sama sekali. Sesampainya di ndalem Bu nyai langsung mengajak Maknun untuk memasak, Maknun tidak banyak membantu hanya memotong-motong, memasukkan bumbu dan menggoreng ikan, selebihnya Bu nyai yang masak sendiri beliau sangat lincah dan cekatan jadi dengan cepat pekerjaan pun selesai.
“ini Nduk yang namanya engkung… memang Ridlwan suka di buatin engkung, karena engkung itu jarang di masak kalo tidak ngepasi[23] momen-momen tertentu, yaitu acara selamatan.”
“ohh….” Maknun hanya ber-oh oh ria
Setelah itu Maknun berlalu dari ndalem.

# # # #

            Maknun menceritakan kejadian yang baru saja ia alami pada Shofi.
“ya ampun Mbak, gimana ya perasaan Gus Ridlwan, nggak ngebayangin deh, pasti habis ini hubungan Gus Ridlwan sama Abah Yai jadi renggang…”
“ah masak gitu Mbak”
“Ya bisa saja kan… Gus Ridlwan jadi takut sama Abah terus mencoba menghindar dari beliau”
Setelah peristiwa itu perilaku Gus Ridlwan kepadanya sedikit berubah, ia tak lagi di kejar-kejar oleh pertanyaan Gus Ridlwan yang terkesan di buat-buat. Malah beliau sekarang menjadi tertutup tidak terlalu banyak komen dalam kelas, menjelaskan pelajaran tidak terlalu panjang lebar, hanya secukupnya.
“aku kok ngrasa ahir-ahir ini sikap Gus Ridlwan berbeda yah nggak kayak biasanya” ucap salah seorang santri sehabis keluar dari ruang diniyyah
“hu-uh aku juga ngrasa kayak gitu… ada apa ya…”
“mungkin sedang ada masalah kali…”

# # # #

Di sekolah
            Karena akan menghadapi ujian semester ahir, OSIS MA Darut Taqwa mengadakan lomba Class Meeting, yaitu lomba antar kelas. Ada banyak perlombaan yang diadakan oleh OSIS baik berbentuk jasmani atau rohani. Seperti bulu tangkis, catur, sepak takrow, kebersihan kelas dan lain-lain, ini termasuk dalam jenis lomba jasmani. Lomba rohani seperti kreasi nadlom, hadrohan, pratikum kitab, qiroatul kitab dan lain sebagaimana. Seluruh siswa di harap untuk berpatisipasi dalam event perlombaan tersebut, apalagi dari pengurus kelas sudah sibuk mempersiapkan nama-nama siswa yang akan di tunjuk sebagai delegasi kelas. Shofi kebagian lomba catur, anak ini lumayan lihai dalam permainan catur karena seringkali ia memenangan perlombaan catur yang di adakan pondok, sehingga ia didelegasikan sebagai perwakilan kelas XI A lomba catur, sedangkan Maknun kebagian lomba qiro’atul kitab, dimanapun saja ia tak luput dari mengikuti lomba yang satu ini karena memang sudah teruji. Lomba diadakan seminggu lagi persiapan-persiapan sudah mulai dilaksanakan dari latihan ataupun mempersiapkan aktribut-aktribut yang akan digunakan pada waktu acara.
“kamu kapan tampil Mbak Maknun…” Tanya Shofi sewaktu mereka dalam perjalanan pulang
“insya Allah Jum’at lusa Mbak… biasanya gimana model lomba qiroatul kitab di sini?” Tanya Maknun ingin tahu
“biasa saja Mbak… kita suruh membaca maqro’ yang kita ambil sesuai dengan batasan yang ditentukan panitia, setelah itu dijelaskan, kemudian menjawab pertanyaan dari dewan juri…” jelas Shofi
“soalnya sulit-sulit nggak…”
“lebih sulit pelajaran diniyyah Mbak… kalo kita paham materi pasti semua pertanyaan dewan juri lewat dah. Karena sekolahan kita menyamakan antara kurikulum agama dan umum, sehingga pertanyaan seputar agama yang terlalu njlimet[24] itu tidak dipertanyakan paling menurut standart siswa Aliyah. Kalo lomba di pondok beda, di pondok malah lebih ditekankan pada penguasaan ilmu alat dan murod[25]nya….”
Tak terasa karena keasyikan ngobrol, mereka sudah sampai di depan pintu gerbang pondok.
“dah dulu Mbak Maknun saya pamit ke kamar, yuk assalamu alaikum” ucapnya sambil berlalu menuju kamar. Maknun menyandarkan punggungnya di depan almari, melepas lelah.
“Mbak…Mbak monggo makan” seru Vivi teman sekamarnya menawarkan makanan, sepertinya dia habis di sambang, anak-anak sama berlari menuju hidangan itu, namun Maknun tidak bergeming dia malah bengong. Di dekat Vivi ada ibunya yang sedang asyik ngobrol dengannya, tiba-tiba ia teringat Abah dan Uminya yang sudah hampir tiga bulan lebih ia tidak di jenguk sama sekali, rasanya kangen banget. Kemarin saja waktu telpon ternyata Abah dan Umi pergi ke Magelang ke rumahnya Gus Abid, jadi ia nggak bisa ngobrol sama beliau.
“Maknun kenapa bengong aja, sini ikut gabung, enak lo…entar nyesel nggak kebagiaan…”ajak Umi teman sekamarnya. Ahirnya ia ikut makan juga, makan mayoran emang bikin kenyang meskipun sedikit dengan lauk yang biasa-biasa saja terasa lezat dan menyenangkan karena bisa makan bersama dan saling berbagi, dan yang paling bikin berkesan adalah terasa makan masakan rumah sendiri.
            Terdengar bel jamaah, waktunya para santri untuk persiapan solat Dhuhur. Sebenarnya di sekolah masing-masing sudah diadakan jamaah Dhuhur, tapi ya terserah mau ikut jamaah atau tidak, sehingga di pondok ada jamaah lagi, untuk memfasilitasi santri yang belum solat Dhuhur. Secara rutin Bu nyai Hamidah yang mengimami solat lima waktu, beliau sangat istiqomah dalam berjamaah itulah pelajaran yang utama bagi santri, melihat sosok seorang Bu nyai yang selalu tekun dan rajin berjamaah sehingga para santri selalu tak ingin ketinggalan berjamaah dengan beliau. Begitu juga dengan Abah Yai beliau yang mengimami jamaah di masjid induk lima waktu.

# # # #

“kamu dapat undian nomor berapa Mbak Maknun…” Tanya Shofi ketika sudah sampai di tempat perlombaan baca kita di ruang kelas X D
“nomor empat… emang siapa sih jurinya jadi penasaran”
“ya belum tahu Mbak, kadang dari guru sini sendiri kadang dari ustadz-ustadz pondok”
“kelihatannya orang yang kita omongin datang deh…” ujar Maknun “ bukannya itu ustadz Musthofa… aduh mampus deh aku…” ucap Maknun melas
“betul itu memang ustadz Musthofa… wah pasti enak Mbak…kalo yang nguji guru kita sendiri kan jadi nggak terlalu ngrogi karena kita sudah paham karakter beliau”
“tapi sama saja Mbak Shof.. . justru karena kita muridnya malah dipersulit…”
“jangan su’udzon dulu belum tentu kan…” ucap Shofi menghibur
Mereka duduk dideretan nomor dua di belakng juri, menyimak seksama pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh ustadz Musthofa.
“undian selanjutnya yaitu perwakilan dari kelas XI A…” suara MC memanggil peserta
“aku maju dulu ya Mbak, doakan sukses…”
“baik… amin, semoga sukses”
“dewan juri yang terhormat perwakilan dari kelas XI A akan membacakan fashal tayammum halaman 9”
Maknun memulai membaca, ia membaca dengan baik dan lancar setelah itu diterjemah dan disimpulkan, sekarang giliran dewan juri yang memberikan pertanyaan. Maknun udah deg-degan melihat ustadz Musthofa yang akan bertanya padanya, takut nggak bisa jawab.
“baik, pertanyaan untuk perwakilan kelas XI A yaitu, tadi yang sampeyan baca adalah bab tayammun, seperti yang telah sampeyan jelaskan di muka tayammum adalah bentuk bersuci dengan debu sebagi ganti dari wudlu menggunakan air, seperti itu kan” Maknun hanya menggangguk, kemudian ustadz Musthofa melanjutkan pertanyaannya “rosulullah pernah bersabda yaitu isbaghu al-wudlua yang artinya sempurnakanlah wudlumu. Apakah ini juga berlaku dalam tayammum? Mengingat tayammum  adalah gantian dari wudlu…”
“sebelumnya saya minta maaf, karena selama saya belajar hadist dalam masalah thoharoh hanya menemukan riwayat hadist yang menyuruh menyempurnakan wudlu bukan tayammum.. jadi menurut hemat saya, praktek isbagh (penyempurnaan) itu hanya berlaku dalam wudlu, mungkin itu yang bisa saya utarakan.”
Ustadz Musthofa hanya mangut-mangut mendengar jawaban dari Maknun, kemudian dipersilahkan turun dari podium. Kemudian di sambut oleh ouplos dari para hadirin.
“wah hebat sampeyan Mbak bisa menjawab pertanyaan ustadz Musthofa dengan tegas, emang seperti itu, jawabannya…” Tanya Shofi setelah Maknun turun dari podium
“aku hanya bekal PD Mbak Shof biar salah atau benar hanya Allah yang tau… pokoknya jawab?” jawab Maknun penuh rasa percaya diri
“tapi kalo sampeyan yang ditanya soal seperti itu, pasti bisa jawabnya Mbak, meskipun ngawur tapi kan ada dasarnya, lah sedangkan aku…”
“yang namanya ngawur Mbak Shof itu pasti tanpa dasar, ah ada-ada saja kamu ini, yuk kita ke kantin aku lapar nih”

# # # #

Asrama putra Darut Taqwa
“gimana Mus, jadi juri qiroatul kitab tadi, siapa yang menang?” Tanya seseorang yang duduk di samping ust. Musthofa di depan bilik kamar.
“ya biasa lah Gus… pujaan sampeyan itu, si Maknun…”
“lo dia ikut lomba qiroatul kitab to?” ucapnya kaget
“iya… tadi baca fasal tayammum, bacanya bagus dan lancar, dan mampu menjawab pertanyaanku dengan baik…sampeyan itu Gus yang sebenarnya harus berani mengungkapkan perasaan, hati-hati lo gadis seperti Maknun banyak yang suka lo, kalo mau jujur saya sebenarnya juga tertarik sama dia.. tapi berhubung Gus-ku sendiri yang suka masak saya harus mendahului…” ledek ust. Musthafa
“huss, jangan ngawur kalo ngomong, aku nggak rela si Maknun jatuh pada laki-laki lain, dia harus jadi milikku…”ungkap Gus Ridlwan serius “dan aku yakin ia pasti tidak akan menolakku ketika aku minta dia sebagai kekasihku nanti…”
“itu nggak ada gunanya Gus, kalo sampeyan sendiri tidak ada usaha, Cuma hanya bisa lihat dari jauh, masak dia akan datang begitu saja, sampeyan yang harus berani mengungkapkan biar semua jelas dan tidak berkepanjangan, kalo tidak seperti itu namanya menyiksa diri sendiri” tambah ust. Musthofa panjang lebar
“aku kasihan sama dia Mus, dia masih kecil belum cukup umur untuk berunding masalah asmara, aku yang harus sabar menanti dia sampai cukup dewasa sehingga bisa mensikapi masalah dengan baik”
“ya terserah kalo gitu, tapi hati-hati lo ya… mungkin hal itu bisa sampeyan tahan, tapi dengan Maknun bagaimana?” ujar ust. Musthofa memberi pancingan
“maksudmu…”
“kalo tiba-tiba Maknun menyukai laki-laki lain karena ia tidak tahu sama sekali tentang perasaan sampeyan, bagimana? Mungkin sampeyan akan kesulitan untuk merebut hatinya ” meskipun sama-sama teman dari kecil tampak sekali kalo ust. Musthofa sangat mengormati laki-laki yang duduk disampingnya itu, karena dia adalah putra kiainya yang nantinya akan menggantikan tonggak kepemimpinan pesantren Darut Taqwa. Tampak Gus Ridlwan berpikir keras, tak tau apa yang harus diomongkan.
“ya sudahlah Gus, jangan terlalu dipikirkan, saya doakan semoga harapan sampeyan tercapai”
            Tampak para santri putra lalu lalang di depan kamar itu, dengan membungkukkan badan dan sesekali mengucap salam pada orang-orang yang duduk-duduk di depan kompleks kamar asatidz dan pengurus. Para pengajar dan pengurus ditempatkan pada kamar tersendiri, biar terjaga privasi masing-masing. Dan juga agar menjaga muru’ah (harga diri) para pengajar dan pengurus dihadapan santri yang lain.
“Oh iya aku harus segera kembali ke pondok putri karena ada rapat pengurus sekarang, aku pamit dulu, assalamu alaikum” ucap Gus Ridlwan sambil berlalu meninggalkan ust. Musthofa
“wa alaikum salam Wr. Wb”
 Aula pondok putrid Darut Taqwa
            Semuanya sudah siap, dari konsumsi sampai perlengkapan  rapat sudah tersiapkan.
“ustadzah Ana, apa sudah ada yang ngaturi[26] Gus Ridlwan di ndalem” Tanya seorang gadis yang memakai kerudung putih
“insya Allah ustadazh Tika, tadi sepertinya sudah dia yang ke bawah…”
Para pengurus sudah siap di tempat rapat, tinggal menunggu kedatangan Gus Ridlwan yang akan memimpin rapat pada malam hari ini. Ini adalah rapat persiapan LPJ tahunan kepengurusan pada akhir dauriyah (periode) sebelum di munaqosyahkan pada seluruh santri Darut Taqwa putri, sebelumnya dikoreksi bersama-sama dengan pengasuh dalam hal ini Gus Ridlwan yang memimpin. Rapat ini akan membahas tentang pelaksanaan program departemen-departemen pondok apakah sudah berjalan dengan baik atau mengalami kendala dan lain sebagainya.15 menit kemudian Gus Ridlwan sudah hadir dalam ruang rapat pengurus, di Aula PPP. Darut Taqwa. Acara di mulai dengan pembukaan dari MC, diteruskan dengan tilawatil Qur’an kemudian masuk dalam acara inti. Satu persatu departemen mengulas kegiatannya masing-masing dan mengungkap kendala yang dihadapi, Gus Ridlwan menyimak dengan seksama dan menanggapi apa yang di informasikan oleh para mbak-mbak pengurus. Departemen yang ada diantaranya adalah Dept. Tarbiyah, Dept. Kesektariatan, Dept. PMB (Pengembangan Minat dan Bakat), Dept. KKL (Kebersihan dan Kesehatan Lingkungan), Dept KamTib (Ketertiban dan Keamanan) dan lain-lain. Rapat kepengurusan ini memakan waktu yang sangat lama dari ba’da Isya’ biasanya sampai tengah malam. Setelah selesai presentasi per-departemen, giliran Gus Ridlwan yang memberikan pengarahan.
“baiklah para mbak-mbak pengurus sekalian, sebelumnya saya mengucapnya trimakasih yang tak terkira pada kalian semua karena kalian dengan ikhlas mau membantu adik-adik kalian yang masih butuh bimbingan semoga ini bisa menjadi amal sholih kalian semua, amiin. Dan tidak ada sebaik-baik pembalasan kecuali Allah sendirilah yang membalas. Tentang kepengurusan yang telah kita jalani hampir satu periode ini, saya melihatnya berjalan dengan normal itu semua karena kerjasama kalian yang komit, tapi itu semua tak luput dari kendala yang selalu ada, setelah saya amati, kendala yang sering muncul di sini adalah, kurangnya keaktifan dan kepedulian santri dalam menjalankan aktifitas pondok selama ini, padahal kegiatan-kegiatan kita adalah sebuah rutinitas yang sudah kita jalani bertahun-tahun, namun santri tidak menunjukkan reaksi dan perubahan yang signifikan, meskipun itu hanya sebagian saja dari keseluruhan santri. Namun yakin kalian tentu saja sudah menjalankan tugas semaksimal mungkin, oleh karena itu saya harap anak-anak yang bermasalah tadi itu coba dikumpulkan dan di kasih pengarahan tentang pentingnya mencari ilmu dan menta’ati peraturan pondok, kalo tidak ya kalian coba secara berkomunikasi secara individu pada mereka, insya Allah lama kelamaan mereka akan luluh juga dengan kalian, kalo ada kesuliatn langsung saja lapor ke saya. Mungkin cukup ini dari saya kurang lebihnya saya mohon maaf, semoga munaqosyah di hadapan para seluruh santri berjalan lancar, amiin.” Acara itu pun di tutup dengan doa yang dipimpin oleh Gus Ridlwan.

# # # #

            Maknun jadi kepikiran banget sama orangtuanya, ia terus kebayang-bayang beliau berdua. Ingin sekali bersua dengan Abah dan Umi. Tapi apa Abah dan Umi sempat menjenguknya di pondok, apalagi Abah sangat anti memanjakan anak. Sekarang baru jam 10 pagi, pergantian jam pelajaran selanjutnya, tapi Maknun udah malas dan ingin pulang. Ia menghampiri tempat duduknya Shofi di depan.
“Mbak Shof… aku kangen banget ma Abah dan Umi… pengen disambang. Sudah 3 bulan lebih di sini masak nggak pernah sama sekali nelpon aku…” ungkapnya kesal
“ya sudah kalo gitu nanti pulang sekolah mampir ke wartel dan telpon ke rumah bilang minta di sambang, beres kan..” ucap Shofi menghibur, temannya satu ini memang sangat perhatian dan penuh persaudaraan, Maknun yang terkadang sering manja dan kekanak-kanakan sedikit demi sedikit dibimbing oleh Shofi dan selalu mencoba mencarikan solusi terhadap masalah yang dihadapinya. Pak Saiful guru Bahasa Indonesia hadir, pasti ulangan, beliau lebih suka ulangan dengan mengisi soal-soal di LKS dari pada menerangkan pelajaran, Maknun jadi ogah banget.
            Ternyata jam terakhir kosong, gurunya izin ada walimahan, jadi nggak bisa hadir. Shofi dan Maknun langsung berlari keluar dari kelas dan berdiri di depan gerbang menunggu dibuka, padahal kurang setengah jam lagi.
“Pok Tomo, aku izin pulang dulu ya… ada keperluan penting nih… boleh ya..?”rayu Maknun pada bapak penjaga gerbang
“nggak bis Neng, dengan alasan apapun saya tidak akan membukakan pintu, tanpa surat keterangan dari BP…” jawabnya tegas
“ahh Pak Tomo sekali ini saja deh, Pak Tomo nggak akan di pecat kok gara-gara membukakan pintu gerbang untukku, mau kan…” rayunya lagi
“sekali saya bilang tidak, ya tidak Neng…” jawabnya dengan nada tinggi. Tahu kalo rayuannya nggak mempan ia langsung balik ke tempatnya semula. Disana Shofi melihat aksi Maknun yang sok berani itu sambil tertawa terbahak-bahak, tidak tahan untuk menertawakan teman cantiknya yang sok ke-PD-an.
“gimana Mbak… sukses nggak…hahaha” sapanya sambil terus tertawa. Namun Maknun enggang menjawab jadi males moodnya, wajahnya aja udah kayak kertas nekuk-nekuk gitu.
“udah aku beritahu kan tidak semudah itu merayu Pak Tomo, emang kamu anaknya, atau saudaranya, ya pasti beliau tidak mau Mbak…Mbak, hahaha” ia masih melanjutkan tertawanya
“ada teman susah malah diketawain sih, BT aku…” rujuk Maknun
“nggak gitu temanku, aku nggak niat ngejek kamu kok, pie lucu saja kejadian tadi, maaf..maaf”
Beberapa menit kemudian pintu gerbang dibukakan dan mereka segera kabur ke wartel. Maknun memencet nomor pada telpon, terdengar nada sambung dari seberang.
“as salamu alaikum… Mbak, ini aku Maknun, Abah atau Umi ada nggak? Aku pengen ngomong”
“oh iya Neng, ada, saya panggilkan dulu ya” ucap suara dari seberang. Beberapa menit kemudian.
“assalamu  alaikum putriku…?” terdengar suaranya Umi
“ya Allah Umi, Maknun kangen banget ma Abah dan Umi, kok nggak pernah kasih kabar atau nyambang Maknun di sini to…?” rengeknya manja
Umi tersenyum arif “maaf Maknun, Abah dan Umi belum sempat kesana, karena di sini sangat sibuk Nak, Abah dan Umi sebenarnya juga pengen sekali kesana silaturahim ke Yai Manshur sekalian nyambang kamu, tapi belum sempat-sempat juga, tapi kamu baik-baik saja kan, uangmu masih ada kan?”
“iya Umi, tapi aku pengen di sambang langsung sama Umi dan Abah dan dibawakan makanan dari rumah” ucapnya sambil menahan tangis.
“bukannya satu bulan lagi kamu liburan Nun, habis ini juga kamu pasti ujian-ujian jadi nggak usah di sambang Abah dan Umi dulu ya, nanggung satu bulan lagi kamu kan liburan ntar langsung pulang pas Umi dan Abah jemput kamu… gimana?” tawar Umi
Maknun hanya diam, ingin rasanya ia menangis tapi pasti nggak ada gunanya
“ya sudah untuk masalah makanan gampang, ntar Umi suruh Kang-Kang ndalem ngirim makanan dan jajan ke kamu, ini Mas Irfan mau ngomong sama kamu…”
“apa kabar adikku sayang, gimana kabarnya sekarang?” sapa Mas Irfan dengan nada menggoda, ia sangat suka menggoda adik semata wayangnya itu, Karena pasti Maknun terpancing olehnya dan ahir-ahirnya Maknun yang nangis, sedari kecil Mas Irfan emang seperti itu.
“ngapain tanya- tanya kabarku, gombal aja…”
“lo gimana se… aku serius tanya kabar malah marah-marah, ya udah… nggak usah saudaraan aja ma aku…”
“emang aku seneng punya Mas yang selalu ngebetein aku, nggak pernah nyenengin malah bikin tambah pusing… sekarang enak-enak pulang di rumah, sedangkan aku malah di buang di Pasuruan.. nggak adil…” ucapnya bersungut-sungut
“salahnya sendiri mau, coba kalo nggak mau kan enak kayak aku…weekk…” ejek Mas Irfan
“ya sudah Mas dulu aja yang nyoba nggak nurut perintahnya Abah trus aku ikut… aku pengen lihat se, Mas berani pa nggak…”
“berani dong… aku kan putra kesayangan  Abah dan Umi pasti deh dituruti apa mauku, nggak kayak kamu hahahaha…”
“Mas Irfan benci aku sama kamu, orang kok nggak pernah mau ngalah sama adiknya sendiri, lebih baik kita nggak saudaraan, putus…?” ucapnya sambil setengah berteriak.
Terdengar dari seberang suara Umi melerai pertengkaran putra putrinya itu, sampai dewasa mereka tetap saja nggak pernah akur. Lalu Maknun menutup telpon dengan sembarang. Masih kesel dengan sikap Mas Irfan yang nggak pernah mau kalah.
“gimana Mbak, Abah dan Umi-mu mau kesini” Tanya Shofi kemudian
Maknun hanya menggeleng, kemudian dia cerita sambil jalan.
“kamu yang sabar aja ya Mbak Nun… tapi Mas kamu itu lucu banget ya… sudah besar gitu masak masih aja ngejahilin adiknya”

# # # #

Dua hari kemudian kiriman Maknun datang dengan diantar mbak-mbak ndalem serta Mas Irfan juga ikut ngantar, rasanya gondok banget ia sama kakaknya satu ini.
“datang sesuai pesanan adikku sayang” ucap Mas Irfan ketika mereka sedang duduk-duduk di ruang tamu
“krasan disini… Gus-nya cakep lo…” godanya sambil melirik ke Maknun
“apa-apaan sih, ngomongin orang itu lagi, nggak penting tau nggak?”
“kamu nggak tertarik sama Gus Ridlwan, sayang lo kalo dilewatkan gitu aja”
“nggak akan, biasa aja… cowok ganteng itu seabrek,[27] jadi biasa aja lagi…”
“beneran nih, nggak tertarik sama sekali dengan Gus Ridlwan, nyesel lo”
“aduh Mas, mau dibilangin berapa kali sih. Ngapain juga Mas bahas masalah gituan aku nggak tertarik sama sekali… kalo Mas mau pacarin aja gih..”
“heh ngaco kamu…”
“hahahaha syukurin…”
Kemudian datang Gus Ridlwan mengahampiri mereka yang sedang asyik bercengkrama. Saling berjabat tangan dan Tanya kabar. “basi banget” batin Maknun.
“udah lama Gus di sini…” ucap Gus Ridlwan membuka pembicaraan
“barusan kok, sekitar setengah jam-an, iya kan Dik Maknun…” jawab Mas Irfan sambil menoleh ke arahnya, nggak penting banget.
“gimana adik saya di pondok Gus, suka nangis ya… biasa Gus, maklum masih suka manja. Orangnya aja yang kelihatan gede tapi masih suka manja, nangisan” ucap Mas Irfan ngejek
“Mas Irfan kok gitu sih…adik sendiri di jelek-jelekin…”
Kedua laki-laki dihadapannya menertawakan tingkah Maknun yang lagi gondok lucu banget.
“kalo nakal di ta’zir aja Gus, suruh nyuciin baju sampeyan biar tau rasa”
Maknun nggak betah di goda terus-terusan, ia sampai mau mencubit Mas Irfan biar tau rasa.
“nggak kena…” jawabnya sambil menghindar dari amukan Maknun. Ia langsung berdiri meninggalkan Mas Irfan dan Gus-Ridlwan, bikin kesal aja.
Ia bersama mbak-mbak ndalem masuk ke dalam pondok sambil membawa barang-barang yang di kirim dari rumah.
“di sambang Mbak Maknun…”sapa salah seorang temannya dari lantai atas
“iya Mbak…” jawabnya singkat dengan melempar senyuman
“antri jajannya Mbak…”serunya lagi
“boleh… ntar ke kamar ya”
Ia dibawakan empat kerdus besar berisi nasi dan lauknya sekalian, dan tak ketinggalan camilan-camilan serta lauk kering yang tahan beberapa hari untuk lauk makan sehari-hari. Teman-teman pada berkumpul dan mayoran bersama, tak ketinggalan Shofi juga ada di kamar Maknun menyantap menu masakan Uminya Maknun.
“masakan Umi-mu lezat banget Mbak, itu Umi-mu sendiri yang masak atau mbak-mbak ndalem” Tanya Shofi setelah ia selesai menyantap makanan.
“Umi-ku sendiri, Umi-ku itu jago masak Mbak… masakan beliau pasti lezat dan nikmat makanya anak-anaknya lebih suka masakan Umi daripada beli di luar, sama saja katanya…”
“wah… aku perlu belajar dari Umi-mu Mbak Maknun biar masakanku selezat masakan Umimu”
Maknun menuju ruang tamu ndalem menemui Mas Irfan… ternyata dia masih duduk manis dengan Gus Ridlwan, sepertinya tengah masih bercengkrama. “ngomongin apaan sih, kelihatannya seru banget…” pikir Maknun dalam hati
“Mas Irfan kok masih di sini sih…”ucap Mankun memotong pembicaraan mereka
“mau ikut gabung…sini” tawar Mas Irfan
“nggak sowan Yai Manshur?”
“Abah sekarang sedang tindaan[28] Neng Maknun, ibu juga tadi sudah aku beritahu kalo Mas-mu kesini” jawab Gus Ridlwan menimpali, Maknun jadi kaget dengan panggilan Gus Ridlwan padanya ‘Neng Maknun’ hampir tidak pernah ia di panggil seperti itu, ia jadi bingung sendiri.
“ya sudah Gus, saya pamit pulang dulu, ntar kalo lama-lama di sini aku bisa digondoki sama Maknun, nggak dianggap kakak katanya” ucapnya sambil ketawa, Gus Ridlwan juga ikut-ikutan ketawa mendengar penuturan Gus Irfan barusan. Maknun hanya mencibir tidak ingin membalas ledekan kakaknya malu dengan Gus Ridlwan.
“ya sudah Gus kita ketemu di bahtsu depan, sampeyan ikut kan…”
“insya Allah… doanya saja” keduanya berjabat tangan kemudian pulang
“Mas tadi ngomongi apan sih, seru banget… trus kenapa sebelum pulang tadi bilang ketemu di bahtsu, emang ada acara apaan?” Tanya Maknun penasaran ketika ngantarin Mas Irfan ke parkiran mobil.
“Tanya saja ma Gus-mu itu dia pasti tahu…”
“aku kan tanyanya ke kamu Mas..bukan ke Gus Ridlwan…”
“ya biar tambah akrab gitu…”
“ihh mesti deh… apa-apaan sih.. dah pulang sana, salam ke Abah dan Umi”

# # # #

            Ujian semester dua tinggal menghitung hari, tiga hari lagi sudah ujian. Seluruh santri PPP. Darut Taqwa secara bergiliran ziaroh ke makan para masyayikh PP. Darut Taqwa meminta doa dan membacakan tahlil. Makam masyayikh tepat di belakang masjid pondok putra, jadi harus melewati kompleks pondok putra. Dan juga setiap habis solat Isya’ mereka membaca istighotsah bersama sampai ujian selesai. Ujian semester dua ini adalah ujian yang menentukan kenaikan para siswa jadi harus serius dan hati-hati, dan yang tidak kalah pentingnya adalah berdoa yaitu dengan istighotsah memohon kelancaran dan kesuksesan dalam ujian. Meskipun seperti itu pengajian wethon yang di asuh oleh Yai Manshur tidak libur beliau tetap ngaji meskipun kurang maksimal hanya diikuti santri senior dan para santri yang mau ikut ngaji. Pengajian beliau setiap ba’da subuh sampai jam enam yang hanya di ikuti oleh santri senior karena santri yang masih sekolah harus persiapan sekolah jadi tidak dianjurkan mengikuti ngaji ba’da subuh. Kalo ba’da Ashar Yai Manshur ngaji kitab Salalimul Fudlola yang di kaji santri mulai tingkat Aliyah sampai perguruan tinggi setiap hari Selasa dan Rabu. Mendengar ngajinya Abah Yai Manshur hati menjadi tenang, ngaji beliau punya ciri khas tersendiri, punya nada dan dlauq (rasa) yang beda. Maknun tidak bisa ikut ngaji sekarang karena ribut dengan ujiannya.
            Kalo udah waktu ujian seperti ini wah… jangan Tanya, setiap sudut pondok selalu ada anak yang belajar sambil tak lupa bawa cemilan, pokoknya seru banget… melihat para santri yang begitu rajin dan tekun membuat tenang dan tentram. Maknun dan Shofi belajar bersama di serambi musholla besok pelajaran sejarah, di depan mereka berserakan buku paket dan LKS.
“Mbak Shof aku ngantuk banget aku tidur dulu ya… ntar bangunin jam 12… jangan lupa lo”
Shofi hanya mengangguk tanpa menoleh ke Maknun, tenggelam dengan bukunya. Namun dalam beberapa menit kemudian Shofi ikut-ikutan ngantuk dan tanpa sadar tertidur dalam posisi duduk.  
“jam berapa nih… “ ucap Maknun setengah ngantuk, ia mencoba melihat jam yang menempel di dinding musholla meskipun dengan mata yang terkantuk-kantuk.
“hah… jam setengah empat, yang benar” serunya kaget, rasa kantuknya seketika hilang
Dismpingnya Shofi tertidur di atas bantalnya yang di pangku di pahanya.
“Mbak Shof…Mbak Shof…bangun…bangun…jam setengah empat pagi…”
Mereka gelagapan banget, dan cepat-cepat pergi ke kamar mandi. Padahal mereka belum persiapan penuh pelajaran yang nanti di ujikan. Entah paham atau nggak mereka langsung kebut saja, waktu belajar kurang 2 jam lagi, sedangkan buku yang belum dipelajari kurang setengah kitab.. aduh pusing deh. Pas waktu ngerjakan soal baru tau rasa, kesulitan banget. Mau cari jawaban ke teman, gimana caranya, pengawasnya killer lagi, jadi rumit dah. Kasihan deh.
# # # #
            Liburan tinggal menghitung hari lagi, Maknun sudah tak sabar ingin pulang tapi yang membuatnya cemas adalah menunggu hasil ujian. Semua santri juga merasakan hal sama, takut dengn nilai raport mereka apa ditetapkan melanjutkan ke kelas berikutnya atau tinggal kelas, pokoknya bikin nerveos. Istigotsah dan pembacaan solawat di baca oleh para santri baik secara sentral atau sendiri-sendiri, aktifitas pondok sudah sedikit berkurang, kegiatan yang masih berjalan adalah jamaah, pengajian weton Abah Yai, dan pengajian al-Qur’an, selebihnya diliburkan. Situasi yang serba tidak jelas begini dijadikan kesempatan baik oleh santri, mereka mengadakan lomba-lomba antar kamar, hanya sekedar lomba ringan namun bermutu… seperti hafalan Vocab atau mufrodat, atau juga LASONA, yaitu lari sorof dan nahwu, Imathoh yaitu menebak sebuah kata dalam bahasa arab atau inggris deangan peragaan dan gambar, dan lain sebaginya. Mereka sangat menikmati, karena lomba-lomba seperti itu hanya ada sekali dalam setahun yaitu akhir dauriyah (periodekepengurusan), setelah ujian akhir sambil menunggu pembagian rapotr.

Madrasah Aliyah  Darut Taqwa
            Para siswa dan siswi berkumpul di lapangan induk, mereka dengan seksama mendengarkan sambutan dari pak kepsek. Beliau menyampaikan beberapa pengumuman yang berkaitan dengan liburan sekolah dan awal ajaran baru, serta memberi sedikit nasihat pada para siswa dan siswi untuk tetap istiqomah dalam belajar meski liburan dan jangan balik molor. Setelah itu giliran Pak Slamet yang maju ke podium mewakili panitia penyelenggara ujian semester genap MA Darut Taqwa. Ini yang paling di tunggu-tunggu para siswa. Dengan suara lantang beliau mengumumkan hasil ujian semester genap MA Darut Taqwa
“dengan ini menetapkan siswa yang dinyatakan naik kelas atau tinggal kelas, bintang kelas dan bintang pelajar MA  Darut Taqwa…”
Rasanya jantung dah mau copot saking deg-degannya.
“siswa yang mengikuti ujian semester genap tahun ajaran 2010-2011 sebanyak 654 siswa adapun siswa yang dinyatakan naik sebanyak 635 siswa, yang tidak naik sebanyak 19 siswa” ucap Pak Slamet dengan lantang, dan disambut oleh suara jeritan para siswa histeris. Pak Slamet melanjutkan pengumumannya.
“kelas X A… jumlah siswa 36, naik 36, tidak naik 0”
Para siswa kelas X A menjerit histeris sambil memeluk teman-temannya terharu, mereka sangat bahagia karena semua temannya naik kelas tidak ada yang tertinggal.
“kelas X B…jumlah siswa 33, naik 32 tidak naik 1”
Mereka sama menjerit dan menangis, sedih karena ada salah satu dari mereka yang tinggal kelas. Begitulah selanjutnya sampai kelas XI H.
“adapun bintang pelajar pada ujian kali ini di raih oleh siswi kelas XI A, dengan nama Churin In Maknunah asal Surabaya…” mendengar namanya di panggil sontak ia terkaget-kaget nggak menyangka ia akan memperoleh gelar bintang pelajar yaitu siswa yang mempunyai rata-rata nilai tertinggi diantara murid satu sekolah.
“selamat ya Maknun…” ucap teman-temannya secara bergiliran sambil menyalaminya
“aku iri sama kamu Mbak Maknun, kenapa  kamu sih yang harus jadi bintang pelajarnya, kan kamu siswa baru di sini tapi kok bisa menyaingi kepandaian siswa yang lain, tapi nggak apa deh, aku sangat bersyukur kok, temanku yang jadi bintang pelajar, aku ikut bangga, gih sana maju ke depan” ucap Shofi lega, meskipun ia sebenarnya sangat ingin memperoleh gelar bintang pelajar, ia sudah berusaha sekuat tenaga untuk belajar, namun rata-rata nilainya masih kalah di banding siswa yang lain.

# # # #

Sepulang dari sekolah tampak deretan mobil dan motor berderet rapi di depan ndalem Yai Manshur, para wali santri menjemput anaknya masing-masing, memang dari pagi tadi sebelum para santri mengambil rapotr sudah banyak wali santri yang berdatangan, terutama yang dari jauh. Ndalem Yai sudah dibersihkan dari tadi malam menata jamuan dan kursi untuk menyambut tamu, memang sudah jadi adat setiap liburan pondok atau sekolah banyak santri yang lebih memilih pulang dari pada menghabiskan liburan di pondok, meskipun terkadang Bu nyai tidak memperbolehkan beberapa santri tidak pulang untuk tetap mengaji di pondok atau masih punya tanggungan dan lain sebagainya. Kang-Kang ndalem dan Mbak-Mbak ndalem sudah terlihat sibuk mereka mondar-mandir menyuguhkan minuman dan jajan, sedangkan pengurus bidang keamanan dan ketertiban (kamtib) juga sudah dari pagi tadi menyiapkan buku izin pulang dan tetek bengeknya, untuk melayani santri sowan[29] pada pengasuh. Suara panggilan-paggilan keluarga dari kantor pondok nggak henti-hentinya dari tadi berbunyi, namun tidak kunjung juga namanya di panggil, Maknun sudah sedari tadi menunggu, barang-barang yang akan dibawa pulang pun sudah ia siapkan dari tadi malam, pokoknya tinggal pulangnya tok. Tapi sampai menjelang Maghrib Abah dan Uminya nggak nongol-nongol bikin ia makin resah dan dongkol. Sedangkan pondok sudah tampak hening, karena di tinggal penghuninya, ia sampai mondar-mandir di dekat kantor pengurus, menunggu kedatangan Abah dan Umi, padahal ia kemarin sudah telpon rumah agar Abah dan Uminya sendiri yang jemput dan jangan telat. Lah sekarang kenyataannya jam sudah menunjukkan pukul setengah lima sore mereka belum nongol-nongol juga.
“kemana sih orang-orang rumah nih, kok sampai sekarang nggak ada yang jemput, masak lupa punya anak di sini” gerutunya bengis. Matanya dah berkaca-kaca, mau nangis rasanya, tapi ia malu.
Tiba-tiba ada mbak-mabak pengurus menghampirinya
“Maknun kamu di panggil Abah Yai di ndalem” ucapnya sambil terburu-buru
“iya Mbak trimakasih…”
Ia kemudian berjalan dengan lunglai tanda daya ke ndalem. Yai duduk di ruang makan tempat di mana dulu ia melihat Gus Ridlwan didukani Abahnya.
“sini Nduk, masuk…” ujar Yai mempersilahkan Maknun menghadap beliau
Nduk.. tadi Abahmu telpon aku, katanya ia nggak bisa jemput kamu, karena mendadak ada undangan, tapi kamu nggak usah khawatir kamu Abah izinkan pulang di antar sama Ridlwan, tapi nggak sekarang, sudah malam. Besok saja, pagi-pagi, gitu ya… wess ora usah[30] nangis, pulang-pulang….” hibur Yai seperti tau apa yang sedang dirasakan oleh Maknun, Maknun hanya tersenyum tipis. Tapi ia jadi mikir sekarang, kenapa Abah Yai mengizinkan dirinya di antar oleh Gus Ridlwan, “emang boleh?” Pikirnya dalam hati. Padahal dulu Yai sangat tidak suka melihatnya dengan Gus Ridlwan berdua di dapur ndalem, meskipun tempat itu tidak tertutup karena anak-anak ndalem pasti mondar-mandir disekitar ndalem.
            Setelah sarapan dengan keluarga ndalem, ia jadi pulang dengan Gus Ridlwan tapi tidak berdua tok, tapi ada Ust. Musthofa dan dua santri putra yang tidak dikenalnya, sedangkan dia ditemanni sama Mbak Yuli, santri ndalem. Ia jadi penasaran emang ada apa sebenarnya, apa mereka semua akan kerumahnya, kenapa tidak beritahu dulu sebelumnya? Tapi Maknun tak berani angkat bicara, mbak Yuli pun juga nggak tahu menahu soal itu.
            Mobil di supir sendiri oleh Gus Ridlwan, beliau duduk bersama Ust. Musthofa, di jok depan, sedangkan kedua santri putra itu duduk di jok belakangnya. Sedangkan ia dan mbak Yuli duduk di jok paling belakang. Perjalanan sangat hening tidak ada yang angkat bicara, mereka sibuk dengan pikirannya sendiri-sendiri. Sampai…
“jeddhookkk” suara benturan keras dari jok belakang
“aduh sakit banget… hati-hati dong yang nyupir…”keluh Maknun sambil memegang kepalanya yang kebentur kaca mobil. Sontak saja seluruh penumpang mobil tertawa terbahak-bahak.
“ya salah kamu sendiri Nun… tidur sembarangan” seru ust. Musthofa dari depan
“tidak Pak…aku nggak tidur tapi ngantuk, ya salah yang nyetir itu nggak hati-hati, jangan ngebut dong”
Gus Ridlwan tak menimpali sama sekali yang dikatakan Maknun padanya, beliau hanya diam. Maknun jadi nggak enak sendiri, ia juga sungkan untuk bicara lagi karena disitu banyak orang laki-laki yang tidak ia kenal. Mobil berhenti di pom bensin karena harus isi bensin, Maknun keluar sebentar ke toilet, ternyata ust. Musthofa menyusul di belakang.
“Pak emang ada apa to kok kita rombongan bareng-bareng, jenengan dan teman-teman mau bertamu ke rumah saya” Tanya Maknun sehabis mereka dari toilet
“emang kami niat ke rumah kamu, tapi cuma mampir saja, karena Gus Ridlwan mengajak kami untuk mengikuti Bahtsul Masail Kubro di Jombang besok, sedangkan yang ngajak itu Mas-mu, sehingga kami kesana jemput Mas-mu terus berangkat bareng, kemudian Yai Manshur ngutus kita tuk ngajak kamu juga karena nggak ada jemput”
“oh… gitu…jadi kemaren Mas Irfan kesini itu ngajak Gus Ridlwan Bahtsul Masail… makanya seru banget kalo ngomong”
Gus Ridlwan dan teman-teman sudah menunggu di depan pintu keluar, kelihatan ada yang berbeda dari cara pandang Gus Ridlwan padanya, pandangan yang penuh selidik, maknun sampai takut ngeliatnya. Mereka sampai di rumah sekitar jam 1 siang, Mas Irfan sudah siap menyambut mereka di depan rumah. Melihat Mas Irfan, moodnya jadi berubah ia jadi dongkol melihat Mas-nya yang selalu manis pada orang lain tapi tidak dengannya. Maknun langsung masuk rumah mencari Abah dan Umi dan langsung menyalami beliau berdua, cipika-cipiki dengan beliau, rasanya kangen banget.
“Abah…Umi…Maknun kangen banget ma Abah dan Umi…” ucapnya dengan berlinang air mata.
“iya Maknun Abah dan Umi juga kangen banget sama kamu, tapi kami tidak sempat menjengukmu di pondok karena kesibukan Abah dan Umi, kami harap kamu mengerti…” ucap Umi membujuk. Sedangkan Maknun masih tergeletak di pangkuan Umi. Tiba-tiba Mas Irfan masuk
“Bah… Mi… ada Gus Ridlwan mau sowan….” Belum sempat di jawab, Mas Irfan sudah mempersilahkan tamunya masuk, sedangkan Maknun masih ada di pangkuan Umi… semua yang ada terkejut melihat tingkah Maknun yang kekanak-kanakan itu sudah besar namun masih manja banget sama ibunya, apalagi Maknun belum sempat merubah posisinya. Mata-mata itu melihat geli pemandangan didepannya. Maknun langsung duduk dan tidak berani melihat mata-mata didepannya. Kemudian Abah mempersilahkan tamu-tamunya ke ruang tamu depan dan bercengkrama bersama.
“Mas Irfan…. Kurang ajar…” jeritnya tertahan sambil menyubit tangan Mas Irfan.
“aduhh… sakit Nun… nggak kira-kira sih kalo nyubit…” keluh Mas Irfan sambil mengelus-ngelus tangannya yang memerah
“Mas sih, yang nggak tahu situasi, kenapa mereka di suruh ke dalam, kan bisa manggil Abah trus ditemui di depan… emang Mas nggak tanggep blasss.” Serunya jengkel “udah sana pergi, males aku sama kamu…” perasaannya masih buruk. Tapi Mas Irfan nggak peduli, ia tambah senang bila adiknya itu menangis, dasar kakak nggak tahu diri. Umi membiarkan saja kedua putranya itu berseteru, udah jadi kebiasaan.
            mereka istirahat sebentar beberapa jam di ndalem Yai Thoha, kemudian melanjutkan perjalanan ke Jombang. Selepas sowan Yai Thoha tadi, Gus Ridlwan nggak henti-hentinya senyum-senyum sendiri, melihat Maknun yang seperti anak kecil, ia membayangkan kalo punya istri seperti dia, pasti belum ma yang namanya kebutuhan suami istri, ketika di ajak bercinta tambah milih main boneka, “hehehe” senyumnya dalam hati. Wajah itu tidak pernah hilang dalam relung hatinya, selalu terbayang dan menghantui disetiap hari-harinya. Kadang ia sangat yakin akan pilihannya, namun suatu ketika ia jadi ragu akankah cintanya tergapai, karena sampai saat ini ia tidak pernah tahu apakah orang yang dicintainya mempunyai rasa yang sama dengannya. Gus Ridlwan menarik nafas panjang, mengeluarkan beban yang  menggantung di pikiran.
            Mas Irfan ikut dalam rombongan tersebut bersama dua santrinya, sedangkan mbak Yuli akan menginap di rumahnya beberapa hari, nanti dijemput oleh orangtuanya. Santri pondok as-syafa’ah juga sedang liburan, jadi rumah terasa hening dan damai, tidak terdengar suara-sura santri yang terkadang sangat membisingkan. Meskipun seperti itu masih ada santri yang tidak pulang karena rumahnya jauh atau memang nggak pengen pulang.
“gimana Nduk… menurutmu mondok di sana…” Tanya Umi suatu sore ketika Maknun sedang nonton televisi
“yah sama saja Mi, dengan pondok-pondok yang lain…tapi di sana, aku sepertinya diperlakukan berbeda dengan yang lain…” ungkapnya jujur
“maksudmu Nduk…”
“ya gitu Mi… aku sering di kasih apalah sama ndalem, pernah juga di belikan baju pas aku di ajak Bu nyai belanja….” Ia kemudian menceritakan kejadian yang ia alami di dapur ndalem kala itu
“kalo diperlakukan seperti itu kamu jangan bangga Nduk, anggap saja itu rizqi untukmu dan mungkin saja Pak Yai-mu itu sudah menganggapmu sebagai anaknya sendiri, jadi Abah sama Umi bisa tenang karena di sana ada yang ngejagain kamu …” ucap Umi menjelaskan
“maksudnya dianggap anak sendiri itu bagaimana Mi…” tanyanya memperjelas ucapan Umi
“kamu nanti akan tahu sendiri…” jawab Umi diplomatis seraya meninggalkan Maknun yang sedang bengong ditempatnya, ia merasa ada sesuatu yang disembunyikan darinya. Ah.. tapi ia nggak mau ambil pusing.
“Mas kapan baliknya…” Maknun kirim sms ke Mas-nya
“ngapain tanya-tanya, katanya benci sama aku…”
“ya sebenarnya benci sih… pi pending dulu deh”
“alah… aslinya kangen se… ngaku aja…nie dah penutupan Bahtsu, paling besok dah pulang…”
“antri oleh-oleh ya Mas…”
“apa sih yang nggak buat adik tersayang… hehehe”
Tiba-tiba Mas Irfan telpon ke HP-nya
“ada apa Mas, pakek telpon segala…”
“ada yang mau ngomong sama kamu Nun…”
Belum sempat ia tanya, telponnya sudah diberikan pada orang itu.
“assalamu alaikum… Maknun, gimana kabarnya di rumah…” ucap suara dari seberang
Ia sangat mengenal suara itu tapi ia ragu untuk menebak
“ehm…ini Gus Ridlwan nopo[31]?”
“iya…” jawab beliau singkat. Terjadi kesenyapan beberapa waktu, tak tahu harus berbuat apa.
“ada apa Gus…” tanyanya sekali lagi
“Maknun… oh iya…di sini tadi membahas banyak masalah keagamaan yang perlu kamu ketahui, dari permasalahan sosial ataupun politik, jadi menurutku kamu juga sebaiknya perlu tahu, oleh karena itu nanti kamu minta rumusan jawabannya pada Mas-mu dan tanyakan padanya bila kamu belum paham”
“truss….Gus…setelah saya pelajari, bagaimana..?”tanyanya lagi, masih belum tahu apa yang diinginkan Gus Ridlwan. Ia jadi heran sama Gus-nya itu, sempat-sempatnya liburan disuruh nutholaah, ia jadi nggak mood.
“terserah kamu lah” jawab Gus Ridlwan sekenanya. Merasa ada yang salah dari omongannya ia mencoba untuk berdamai saja dengan keadaan, percakapan terasa garing.
“ya Gus… akan saya laksanakan”
Waktu pun terbuang begitu saja tanpa terjadi komunikasi, Maknun juga tak berani mendahului dan mengakhiri pembicaraan, karena Gus Ridlwan yang menelponnya, sedangkan di seberang sana terdapat hati yang berdebar-debar tak karuan menahan perasaan yang sulit tuk dikendalikan, ia tak tahu bagaimana dan apa yang harus diomongkan.
“ya sudah aku ikut penutupan dulu, was salumu  alaikum”
“wa alaikum salam”
Ucapnya sambil menghela nafas panjang, ia jadi kepikiran dengan sikap Gus Ridlwan yang aneh sejak pertama kali ketemu hingga sekarang, sebenarnya ia juga merasakan kejanggalan dari sikap dan pandangan beliau terhadap dirinya apalagi ketika di pom bensin ketika perjalan pulang ke Surabaya. Ia tak jarang menjumpai Gus Ridlwan beradu mata dengannya ketika pelajaran, dan bila ketahuan pasti beliau pura-pura seperti tak terjadi apa-apa kemudian melengos begitu saja, atau sikap beliau yang berubah-rubah kadang baik kadang jahat, entahlah sulit diartikan. Hingga barusan ia jadi tambah bingung ngapain juga Gus Ridlwan menelponnya hanya untuk sekedar suruh mempelajari rumusan jawaban BM (Bahtsul Masa’il), toh ia juga pasti akan penasaran dengan apa yang di bawa oleh kakaknya begitu ia pulang dari Bahtsul Masa’il. Ia takut untuk memikirkannya terus-terusan, khawatir timbul perasaan yang bukan-bukan pada putra yainya itu.
Satu minggu kemudian
            Tak terasa liburan sudah separuh perjalanan, tinggal satu minggu lagi bisa menikmati liburan di rumah. Tak banyak yang ia lakukan hanya berkumpul dengan keluarga dan kadang-kadang pergi ke kamar para santri di belakang. Waktu sudah menunjukkan pukul 20.00 saatnya nonton televisi, tapi Umi memanggilnya ke ruang tengah.
“iya Mi… ada apa memanggil saya?” tanyanya sebegitu sampai di hadapan Umi, Abah juga duduk di samping Umi.
“begini, anakku Maknun, Abah dan Umi memanggilmu sengaja ingin memberitahumu tentang sesuatu yang telah Abah dan Umi rencanakan dari dulu” ucap Umi hati-hati. Kening Maknun jadi ngelipet[32].
“sebelumnya kami minta maaf  Nduk, tidak memberi tahumu dari  dulu, tapi perlu kamu tahu bahwasannya keputusan ini sudah dari dulu telah kami rencanakan semuanya untuk kebaikan kamu Nduk”. Maknun mulai agak was-was pasti Umi akan membicarakan tentang persoalan yang selama ini selalu menhantuinya.
“sebenarnya kamu telah kami jodohkan dengan seorang pemuda Maknun”
Tak ayal Maknun langsung tertohok kaget, mendengar penuturan Uminya barusan, masya Allah sebuah berita yang tak ingin ia dengar dan sangat ia takuti, tapi kini….
“Maknun anakku, kamu jangan tersinggung dulu, kami tidak bermaksud  jelek pada kamu Nak, tujuan kami baik, yaitu ingin mempersatukan tali persaudaraan antara dua keluarga, dan ini adalah salah satu jalannya Nak” ucap Umi dengan nada lembut dan bijaksana, rasanya tidak tega dengan putrinya kini yang terkulai lemah dihadapannya, ia tahu Maknun pasti sangat terpukul dengan berita ini, tapi cepat atau lambat ia juga harus tahu.
“kamu akan kami jodohkan dengan putra teman Abahmu, pasti kamu sudah kenal orangnya… yaitu Gus-mu itu, putranya Yai Manshur”
“Haahhh…” ungkapnya kaget bukan main, dipandanginya wajah Abah dan Uminya, ia ingin memastikan apakah ia tidak salah dengar.
“tidak Mi…tidak… aku tidak mau…”ucapnya penuh kekecewaan dan air mata yang tak dapat di bendung lagi, Umi menghampirinya dan memeluknya dari belakang.
“Maknun…tolong perhatikan Abah dan Umi Nak, kami sudah memutuskan rencana ini berdasarkan musyawarah Nak, keluarga Yai Manshur juga sudah tahu, makanya kenapa kamu di pondokkan di sana karena supaya kamu tahu keadaan keluarga calon mertuamu.”
“Maknun, ini bukanlah akhir dari hidupmu, bukannya Abah dan Umi ingin menjerumuskanmu, tapi malah kami ingin menjagamu dan membimbingmu. Bukan berarti setelah perjodohan ini kamu berhenti belajar, tapi kamu harus tetap belajar karena itu adalah kewajiban sepanjang hayat” ucap Abah menimpali.
“tapi Bah, Umi, perjodohan menurutku adalah sebuah beban, ini pasti sangat menggangguku dan akan menjadikan semangat belajarku merosot, bukan sebaliknya” ucapnya di tengah-tengah tangis.
“itu jangan sampai terjadi Nduk, kamu harus punya himmah (semangat) yang kuat dalam setiap keadaan, untuk saat ini kamu pasti belum bisa menerima tapi kami harap kamu akan mengerti, yang harus kamu ingat dan kamu pegangi adalah Abah dan Umi selalu menginginkan yang terbaik untukmu dan tidak sebaliknya, semoga kamu bisa pahami.”
Kemudian Maknun segera kembali ke kamarnya dan menguncinya rapat-rapat. Di balik pintu ada seseorang yang dari tadi mendengarkan pembicaraan tanpa ingin mengikuti, seakan-akan ia tahu apa yang kini tengah dirasakan oleh gadis 16 tahun itu. Ia menangis tersedu-sedu di bawah bantalnya, perasaannya hancur dan tak bisa di ungkapkan, ia teramat terluka, ia tak menyangka perjodohan yang tak pernah ia inginkan kini malah berbalik  padanya. Mulai saat itu Maknun mogok makan ia tidak keluar kamar sama sekali ia terus mengurung diri sampai berhari-hari  di kamar, di panggil siapapun ia tak hiraukan, hingga abah sendiri yang nimbali, Maknun tetap tak bergeming. Umi sangat khawatir dengan keadaan putri bungsunya itu sehinga ia menyuruh Irfan untuk mendobrak kamar adiknya itu. Ternyata Maknun tengah bersimpuh dalam sujudnya dengan suara tangis yang sangat kentara. Umi segera menghampirinya…
Nduk…sudahlah jangan kamu sesali kejadian yang sudah terjadi, itu malah membuatmu sakit, terimalah dengan lapang dada pasti semua itu ada hikmahnya”  ucap Umi sambil mengangkat kepala Maknun dari sujudnya dan memangkunya di atas pahanya.
“maafkan kami Maknun, bila Abah dan Umi salah, sungguh Nak, kami tidak pernah punya niat tuk menjerumuskanmu atau menyakitimu, percayalah…”
Umi memegang kepala Maknun, terasa panas. sepertinya putrinya telah jatuh sakit. Maknun langsung dirujuk ke rumah sakit daerah setempat. Semakin hari keadaannya semakin memburuk suhu badannya terus naik. Umi merasa terpukul atas keadaan yang menimpa putrinya, ini pasti ada hubungannya dengan kabar yang Umi sampaikan padanya beberapa hari yang lalu. Abah dan Umi selalu mendampingi Maknun yang terbaring lemah di ranjangnya, Umi tak tega melihat keadaan putrinya seperti itu.
“Bah…bagaimana ini, apa yang harus kita lakukan…”Tanya Umi di tengah-tengah tangisannya sambil tak lepas memegang tangan putrinya yang lemah itu.
“kita tunggu saja beberapa hari Mi… sampai ia sembuh, dan coba kita jelaskan lagi padanya tentang keputusan kita …” jawab Abah yang tetap bersikukuh dengan keputusannya
“tapi Bah…apakah ini tidak keterlaluan… kita memaksakan kehendak kita tanpa memandang perasaan orang lain, ini keputusan yang terlalu gegabah Bah…”ungkap Umi mengutarakan pendapatnya
“Mi… kita harus konsis dengan keputusan ini, bukankah Umi juga telah menyetujuinya, dan tidak akan goyah dengan apapun yang akan terjadi kemudian, ini adalah contoh kecilnya Mi… dan apa yang harus kita katakan pada Yai Manshur bila tiba-tiba kita berubah pikiran…”ucap Abah tegas
“tapi Bah… anak kita lebih penting dari semua itu, meskipun begitu ikatan ini belum terjadi jadi kita bisa membatalkannya dengan baik-baik…”
Abah diam sebentar tidak langsung menanggapi perkataan Umi, tampak beliau menyimpan amarah yang terpendam, beliau merasa kurang kurang setuju dengan pendapat istrinya namun beliau tidak ingin hal ini malah menjadi pertengkaran yang tak diinginkannya.
“tidak Mi… sekali lagi Abah tidak akan berubah pikiran, kita harus kuat”
Seakan tahu akan pembicaran yang barusan di perdebatkan oleh dua orang disampingnya, tiba-tiba Maknun menangis, dari kedua pelupuk matanya keluar air mata. Ini adalah hari ketiganya di rumah sakit, secara silih berganti keluarga menjemput, Gus Wafa, Neng Raudloh juga pulang untuk menjenguk adik bungsunya itu, sesekali para santri juga yang menjaganya di rumah sakit.
“bagaimana keadaanmu Nun…” sapa Neng Raudloh
“seperti yang Neng lihat, aku masih sakit”
“Nun jangan terlalu kau pikir tentang perjodohan itu, kamu akan sakit sendiri, sebenarnya apa yang kamu sanksikan dari keputusan ini Nun? Apa kamu tidak cocok dengan calonmu, aku kira orang itu baik dan cocok buat kamu, tapi kenapa kamu malah menolak perjodohan ini, atau kamu punya seseorang yang kamu suka….” Ucap Neng Roudloh memberondong pertanyaan pada Maknun
“tidak Neng…aku tidak sedang suka pada seseorang, tapi aku merasakan ini adalah sebuah ketidakadilan pada diriku, kenapa aku tidak diajak musyawarah dulu untuk memutuskan hal ini, aku merasa disingkirkan dalam keluarga ini, aku dianggap tidak berguna, apalagi dalam masalah yang sangat menentukan untuk masa depanku seperti ini, bukankah dulu Neng juga di ajak musyawaroh dan di suruh memutuskan untuk memilih pendamping hidup, tapi kenapa padaku tidak, aku tidak terima Neng…”
“kamu harus ingat Nun… orangtua itu punya hak ijbar pada anak gadisnya untuk menikahkannya pada seseorang tanpa menunggu persetujuan dari anaknya, apa yang dilakukan Abah dan Umi tidak bisa begitu saja di salahkan, mereka berbuat seperti itu ada dasarnya Nun…”
“tapi tetap saja aku tidak terima…”
“Trus apa yang akan kamu lakukan bila tetap tidak mau di jodohkan….”
“aku ingin perjodohan ini diputuskan sementara, aku tak ingin ada ikatan dulu dengan seseorang, apalagi Gus Ridlwan adalah guruku sendiri, kami sering berinteraksi, itu akan sangat menggangguku. Aku merasa dibohongi selama ini, aku baru tahu jawabannya sekarang kenapa Gus Ridlwan mempunyai sifat aneh padaku tapi tidak pada yang lain, semua orang sama membohongiku  aku tidak terima Neng…”
“sudahlah Nun… saranku… kamu harus ikut dawohnya[33] Umi dan Abah, kamu pasti sudah paham dengan kondisi keluarga kita yang tak pernah bisa menentang keputusan orangtua apalagi Abah sudah mantep dengan keputusan ini. Ini cuma soal waktu Nun… aku yakin seiring waktu perasaanmu seperti itu akan hilang, pesanku, jangan kamu langgar tradisi turun-menurun keluarga kita yang harus patuh dan taat dengan perintah sesepuh.”
Sekian lama di rumah sakit ia tak menjumpai sama sekali  keluarga Yai Manshur satupun menjenguknya, karena memang mereka tidak diberi tahu mengenai hal ini.

# # # #
           
Keluarga KH.Thoha Adnan tengah berkumpul di ruang keluarga, raut muka mereka terlihat tegang.
“bagaimana keputusan Abah selanjutnya, melihat kondisi Dik Maknun yang tak kunjung membaik, kami merasa sangat kasihan padanya…” ucap Gus Abid membuka pembicaraan hanya dia yang berani menghadap Abah bila ada pertemuan keluarga seperti ini, apalagi ini adalah masalah genting.
“apa tadi yang dikatakan Maknun padamu, Dloh..” ucap Abah balik bertanya pada Neng Raudloh
“mungkin Maknun perlu waktu Bah untuk menyetujui keputusan keluarga, karena dia sangat shock, mendengar berita ini, ia merasa tidak dihargai sebagai anggota keluarga, untuk masalah yang sangat menentukan dalam masa depannya ia tak ingin begitu saja di kesampingkan tanpa menunggu persetujuannya….” Ucap Neng Raudloh menjelaskan
“hehehe…” Abah malah tersenyum entah apa yang membuat beliau tersenyum, apa ada yang lucu? “aku sudah bisa menebak Maknun, ia hanya malu-malu untuk meng-iyakan, kalo masalah ini ia pasti menyetujuinya tapi tidak langsung begitu saja ngomong iya, malah pakek sakit segala” ungkap Abah diselingi tawa, keluarga yang lain ikut tertawa meski tidak tahu apa yang ditertawakan, terasa hambar.
“kalo Maknun seperti ini aku malah pengen ia langsung dinikahkan saja biar tambah parah sakitnya”
Semua hanya bisa melongo melihat tanggapan Abah yang tak masuk di akal itu.

# # # #

            Ini adalah hari terakhir liburan besok dah harus balik ke pondok. Umi dan Maknun sudah sibuk mempersiapkan sesuatu yang akan ia bawa balik ke pondok, Maknun membantu Umi masak di dapur, sambil bercakap-cakap santai.
“kamu udah sembuh beneran Nun…”
“insya Allah Mi…aku sudah enakan kok”
“apa kamu sudah bisa menerima keputusan kami Nduk…”
“kalo 100 % belum bisa Mi… tapi aku tidak bisa berbuat banyak mau gimana lagi…”
“kalo aku yang jadi kamu pasti dari awal Umi udah mengiyakan Nun…nggak pakek di tunda-tunda segala…” canda Umi
“itu kan Umi…udah punya abah, masih ngelirik yang lain…” tambahnya lagi nggak mau kalah
“husss….nggak baik ngomong begitu…”
            Mereka berangkat pagi-pagi selepas subuh, Abah, Umi dan Mas Irfan juga ikut mengantar Maknun. Sekitar jam satu siang mereka baru sampai di Pasuruan, pondok sudah tampak ramai, banyak mobil dan motor berderet-deret di sekitar halaman ndalem dan madrasah.
“Nun… jaga sikapmu, meskipun kamu udah tahu  tentang masalah ini tapi kamu harus bersikap biasa” nasihat Umi
Banyak tamu sedang menunggu di ruang tamu, Abah, Umi dan mas Irfan  memilih santai-santai dulu di mobil menunggu suasana lenggang sambil makan-makan. Tapi kemudian ada seorang santri mendatangi mereka dan mempersilahkan mereka untuk ke ndalem. Di ndalem Abah dan Yai Manshur saling bercengkerama asyik sama sekali tidak menyinggung masalah yang barusan dialami oleh keluarga Yai Thoha.
Pondok Putri Darut Taqwa    
Para santri saling berkumpul dengan temannya masing-masing saling becerita, bertukar pikiran tentang  pengalaman yang mereka alami selama di rumah dan lain sebagainya, begitu juga dengan dirinya, ia juga sedang asyik bercengkerama dengan Shofi di depan kamar sambil tidur-tiduran di atas bantal. ia mulai menceritakan kejadian yang di alaminya selama di rumah.
“masya Allah Mbak Maknun, apa aku tidak salah dengar, berarti sampeyan ini adalah calonnya Gus Ridlwan…” ucapnya sambil setengah menjerit, buru-buru Maknun mencegahnya.
“Mbak Shof… jangan keras-keras dong ntar kedengaran orang lain…”
“maaf Mbak…tapi aku kaget banget atas berita yang kamu bawa, berarti sampeyan akan menjadi pengasuh di ma’had ini, wah seru dong….hehehe selamat ya…”
“ih…apa-apaan sih Mbak…biasa saja, itupun belum tentu, ini adalah sebuah rencana saja, tapi aku tidak tahu apa yang akan terjadi kemudian… aku minta kamu bisa menjaga rahasia ini sampai akhirnya menjadi kenyataan.”
            Kegiatan pondok dan madrasah sudah aktif kembali, banyak santri baru yang masuk di pondok Darut Taqwa, sekitar 150 santri putri dari berbagai tingkatan sekolah dari mulai ibtida’ sampai perguruan tinggi ada. Di kamar Maknun juga ada 4 orang santri baru dari luar jawa dan Jawa Barat. Tapi kalau ajaran baru seperti ini meskipun kegiatan sudah mulai aktif tapi belum bisa maksimal karena masih banyak yang harus dibenahi dari awal karena mengingat masih perlu bimbingan pada para santri baru, sehingga mbak-mbak pengurus lebih memperhatikan kesejahteraan santri baru dari pada kegiatan harian. Di sekolah juga seperti itu, sebagian guru dan pengurus osis sedang sibuk dengan penerimaan siswa baru gelombang kedua, karena jumlah siswa yang mendaftar masih banyak yang berminat dan juga kesibukan mengadakan orientasi siswa baru perlu mendapatkan perhatian khusus dari para guru dan sebagian siswa yang aktif di kepengurusan OSIS sekolah. Maknun jadi nganggur banget di sekolah, tak tahu apa yang harus ia lakukan dari tadi cuma bisa nglamun aja…
“ehmm…. (Ia tersenyum sendiri)…aku tak menyangka bahwa jenengan Gus…yang akan menjadi pendamping hidupku…apakah itu akan jadi kenyataan, memang hidup ini penuh dengan teka-teki, aku merasa hidupku terlalu kacau akibat perbuatan orang disekitarku yang tak pernah tahu perasaanku, tapi aku patut bertrimakasih pada mereka, karena bisa mempertemukanku dengannya…ia yang kadang menyebalkan, kadang menyenangkan, kadang perlu dikasihani, kini malah aku sendiri yang…….entahlah….yang aku sesali kenapa ia tak pernah mau jujur tentang perasaannya….”
            Kalo mau jujur sebenarnya ia sendiri juga jatuh cinta pada kesempurnaan Gus Ridlwan, meskipun tidak menafikan setiap manusia pasti punya kekurangan dibalik kesempurnaannya. Gus Ridlwan yang gagah dan tampan, kulitnya putih dan bersih membuat orang yang melihatnya terpukau. Karakternya yang tegas namun sebenarnya begitu lembut dan perhatian. Beliau selalu rapi dalam berpakaian, dan lebih suka memakai baju putih sesuai dengan kulitnya yang bersih hal itu yang menambah pesona beliau. Dan jangan ditanyakan, beliau juga seorang yang alim, alumni pondok salaf Lirboyo dan juga kuliyah di timur tengah. Di samping itu beliau juga aktif di acara bahtsul masail-bahtsul masail yang di gelar di tingkat kabupaten ataupun profinsi. Karena beliau adalah putra sulung dari empat bersaudara yang kesemuanya perempuan kecuali beliau dan kesemuanya kini masih dalam proses belajar di pondok pesantren, sehingga beliaulah yang diharapkan bisa menggantikan posisi Abahnya untuk memimpin pesantren yang diasuhnya kurang lebih setengah abad itu. Oleh karena itu Abah sangat berharap agar Gus Ridlwan cepat menikah agar beliau bisa secara langsung menggantikan abah. 
“hayo…ngapain senyam-senyum sendiri…lagi mikirin Gus Ridlwan yah….hehehe” ucap Shofi mengagetkan
“apa-apaan sih, ngapain juga mikirin orang itu, kayak nggak ada kerjaan aja…”timpal Maknun
“alah…. Mikirin dia juga nggak apa-apa kan….” Goda Shofi makin gemes, lihat muka Maknun yang udah kayak kepiting rebus itu.

# # # #
Bel kegiatan sudah berdering tiga kali, para santri diharap untuk bersiap-siap. Sekarang adalah pelajaran baca kitab Gus Ridlwan, para santri sudah mempersiapkan materi baca kitab yang telah ditentukan, semua sama belajar dengan serius, namun beda dengan Maknun ia terlihat gelisah raut mukanya tampak kurang ceria, entah apa yang ia pikirkan, dari tadi muthola’ah rasanya tidak dapat ia pahami.
“Mbak…aku kok nggak paham-paham sih dari tadi….kesel nih…”ungkapnya pada Shofi
“itu karena yang dipikiran kamu bukan kitabnya… tapi yang disetori kitab…iya kan…” timpal Shofi. Maknun nggak menjawab pertanyaan Shofi ia hanya diam saja.
“Mbak Shof, tolong jelasin dong maksud ibarot ini…”pintanya
“jadi sungkan nih…masak aku jelasin ke orang yang terbaik nomor satu se-madrasah”
“Mbak Shof, beneran deh aku nggak paham….” Kali ini sambil merengek
“iya…iya…”
Shofi mulai menjelaskan ibarot yang ditunjuk oleh Maknun, tak lama kemudian Gus Ridlwan rawoh. Seperti biasa beliau memanggil nama salah satu santri untuk maju ke depan dan setoran kitab ke beliau. Setelah itu beliau kembali menerangkan ibarot yang dibaca oleh para santri, namun anehnya dari tadi nama Maknun tak juga di sebut. Sampai pelajaran selesai ia juga tak kebagian membaca kitab. Ia sebenarnya mau maju saja tanpa di panggil tapi takutnya nanti di marahi, tapi kalo nggak maju, teman-teman pada ngatain dia di belakang, ahirnya ada yang bersuara…
“Gus… Mbak Maknun belum baca kitab…”ujarnya
“oh iya…” ucapnya dengan nada kaget “ya sudah kalo belum sekarang, nanti saja setoran di ndalem… sekarang sudah hampir selesai jam pelajarannya”
“kenapa begitu Gus… emang ada apa??” Sahut yang lain sedikit kaget dan penasaran  melihat Maknun begitu di istemewakan oleh Gus Ridlwan
“tidak ada apa-apa… tapi dia ada PR dari saya yang harus diselesaikan nanti di ndalem…oh iya Maknun nanti setelah diniyah selesai langsung ke ndalem.
Di depan ruang diniyah
“emang ada hubungan apa antara kamu dan Gus Ridlwan, saya lihat belakangan ini kalian makin akrab dan agak tertutup” Tanya Uswah seorang teman sekelasnya dengan nada curiga
“eh…kamu jangan berprasanga buruk dulu, sungguh aku tidak ada hubungan apa-apa sama beliau, mungkn karena keluarga kami bersaudara itu mungkin yang menjadikan beliau akrab dengan ku, tapi kalo sampai ada hubungan yang serius, ah itu tidaka ada…” ungkapnya dengan perasaan dikuat-kuatkan, jantungnya berdegup kencang
“tapi Maknun aku sering dengar ahir-ahir ini berita tentang kamu dan Gus Ridlwan…kayaknya kalian berdua itu ada ikatan…”
Serasa tersambar petir, Maknun hanya bisa melongo mendengar penuturan temannya itu.
“hah kok gitu sih…siapa yang berani-beraninya menyebarkan gosip kaya gitu…itu fitnah Us…aku saja yang jalanin, nggak pernah merasa punya ikatan sama sekali sama beliau” ungkapnya penuh amarah, mendengar namanya digosipkan yang bukan-bukan oleh orang lain.
“ya udah kalo gitu, kalo kamu tidak merasa sama sekali seperti itu, kamu enjoy aja, berita burung kayak gitu pasti hilang-hilang sendiri…” hiburnya sambil berlalu dari hadapannya.ia teringat akan perintah Gus Ridlwan untuk mendatanginya setelah diniyah selesai, kemudian cepat-cepat ia menuju ndalem. Ia bertemu dengan Bunyai di dapur kemudian menyapanya….
“ada perlu apa Nduk…” Tanya Bunyai begitu mendapatinya masuk ndalem
“tadi saya di suruh Gus Ridlwan untuk menemuinya setelah diniyah…”
“oh… tadi Ridlwan ada bersama Abah di perpustakaan, kamu kesana saja…”
Geh Bunyai..”
Ia menyusuri ruang keluarga kemudian menuju ruang tamu dan disebelah ruang tamu itulah ada perpustakaan pribadi milik Abah Yai, tempat biasanya beliau mutholaah. Setelah berucap salam kemudian ia masuk ke dalam, ada Abah Yai Manshur yang sedang mutholaah dan tak jauh dari situ terdapat Gus Ridlwan yang sedang asyik dengan laptopnya.
“sini Nun…” sapa Gus Ridlwan
Maknun mendekat kearah Gus Ridlwan dan duduk di bawah meja beliau
“katanya kamu habis sakit ya dirumah… kenapa?” Tanya Gus Ridlwan tiba-tiba, tanpa menghadap padanya
“ehm…ya memang waktunya sakit, tidak karena apa-apa” jawab Maknun sekenanya
“masak seperti itu, kamu terlihat sehat-sehat saja sewaktu ku antar pulang dulu, tapi kenapa begitu ku tinggal langsung sakit…”pertanyaan itu begitu menggelikan di telinga Maknun, ia jadi deg-degan campur keki mendengar pertanyaan yang sepertinya bukan pertanyaan biasa.
“memang kalo udah waktunya sakit mau bagaimana…”
“oh gitu…kirain gara-gara aku…” ucapnya sambil menyunggingkan senyum
Dalam hati Maknun rasanya ingin menjerit saja tak tahan kalo terus di goda dan di pojokkan seperti ini, apalagi di sana ada Abah Yai meski tampak tenang sebenarnya Abah mengawasi tingkah laku kedua remaja itu.
“oh iya…kemarin waktu liburan kamu aku beri tugas untuk mutholaah kembali hasil Bahtsul Masail yang kemarin di gelar di PP. Bahrul Ulum Tambakberas, sudah dilaksanakan?”
“nggak sempat…” jawabnya sambil nyengir
“kok bisa…..”
“saya kan habis itu sakit Gus, sampai berhari-hari jadi nggak bisa melaksanakan tugas dari panjenengan…”
“oh…berarti kamu tidak melaksanakan perintahku…baiklah tidak apa-apa, tapi kamu harus mau melaksanakan hukuman dari saya…” ucapnya mantap
“hah kok gitu sih Gus…mana bisa cuma suruh baca saja hasil Bahtsul Masail kok kena hukuman, ini tugas macam apaan…” ucapanya tidak terima. Sebenarnya dalam hati Gus Ridlwan ingin tertawa sendiri mendengar kepolosan gadis pujaannya itu, ia merasa kasihan  dengannya. Ingin ia ungkapkan saja kebenaran itu. Tapi ia harus sabar belum waktunya.
“itu kan alasan kamu saja. Namanya tugas kalo tidak dilakukan tetap ada sanksinya, terima atau tidak…”argumennya lagi
“tapi kan kemarin panjenengan tidak memberitahu masalah hukuman kalo tidak ngerjakan, dan saya tidak melaksanakan kan memang ada udzur syar’I Gus….” Ungkapnya lagi
“nggak usah pakek tapi-tapian ini bukan forum debat, tapi ini perintah yang harus dilaksanakan…” ucap Gus Ridlwan tegas. Ingin rasanya Maknun mencubit orang didepannya itu, kenapa ia begitu menyebalkan, begitu menjengkelkan. Ia jadi kecewa bisa-bisanya orang tuanya menjodohkan dirinya pada orang yang jengkelin banget.
“nggak berat-berat kok hukumannya, kamu cuma saya suruh nyuciin baju saya selama satu bulan dan bantu Ibu masak di dapur…” ucap Gus Ridlwan enteng
“apa….” Jeritnya tak tertahan. Sampai-sampai Abah Yai menoleh ke arahnya kaget dengan jeritan Maknun barusan.
“ada apa Nduk…” Tanya Abah Yai Manshur
“ndak ada apa-apa Bah, biasa si Maknun ini suka kagetan…” jawab Gus Ridlwan penuh nada kemenangan. Abah hanya diam kemudian meneruskan mutholaah. Ia jadi heran kenapa orang di rumah ini sikapnya aneh banget, sampai Abah Yai sendiri membiarkannya dikerjain habis-habisan oleh Gus Ridlwan. Ada apa ini..? tanyanya dalam hati, pasti mereka telah bersekongkol.
“bagaimana Maknun, kamu terima…”
“terserah..” jawabnya penuh amarah
“hehehe…nggak perlu marah begitu, ngejalanin segala sesuatu itu harus ikhlas, jangan pakek perasaan dongkol nanti nggak ada gunanya…” nasihatnya sok bijak
“iyah…”jawabnya singkat
“ya sudah mulai besok setiap hari kamu harus ngambil baju kotor saya, setelah itu bantu Ibu masak di dapur…” ucapnya penuh kemenangan
Setelah selesai ia keluar dari ruangan itu dengan hati terbakar, ia benar-benar dongkol atas sikap Gus Ridlwan padanya. Ia tak menyangka di panggil ke ndalem cuma mau dikerjain doang.
            Setelah itu mulai besok sampai sebulan mendatang ia akan menjadi “pembantu” Gus Ridlwan. Pagi-pagi sebelum berangkat sekolah ia ke ndalem dulu untuk mengambil baju-baju kotor milik Gus Ridlwan, setelah itu berangkat sekolah dan sore hari ia harus ke ndalem bantu masak Bunyai di dapur. Ia tak memberitahu soal ini pada siapapun juga termasuk Shofi temannya, ia hanya bilang di suruh Bunyai membantu di ndalem itu saja, ia tak ingin berita yang kini menyebar tentangnya dan Gus Ridlwan tambah kisruh bila tahu kalo ia setiap hari mencucikan baju Gus Ridlwan. Yang jadi pantangannya adalah ia harus mengambil sendiri baju-baju itu di kamar Gus Ridlwan sendiri karena bok baju kotor beliau yang ada di dalam kamar, tapi untungnya Gus Ridlwan kalo malam jarang tidur di ndalem karena biasanya beliau bersama santri putra mutholaah kitab sampai malam jadi tidur sekalian di pondok putra. Namun ada hikmahnya juga ia disuruh nyuciin baju Gus Ridlwan karena ia sekarang jadi tahu kamar beliau, kamar yang sangat minimalis tanpa hiasan apapun, khas para cowok yang tak suka akan hiasan, hanya tergantung kaligrafi arab diatas ranjang. Ada seperangkat meja paket meja hiasa, yang tampak baru dengan model modren tapi tak ada satupun parfum atau apalah yang tertata di sana, kemudian alamari baju ukuran besar dengan dua pintu, namun almari itu tampak sepi dari baju, tidak cocok dengan ukuran almari yang besar itu, sehingga tampak kosong. Kitab-kitab Gus Ridlwan ada di perpuatakaannya Abah. Kadang ia juga tata kamar itu biar tampak rapi, kemudian duduk-duduk diatasnya seakan kamar itu adalah kamarnya sendiri. Ia mulai berfikir yang tidak-tidak.
Namun suatu hari, ketika ia akan mengambil baju.
“hah…” ia terpekik kecil dengan mengalihkan pandangan  matanya ketika mendapati ada seseorang tertidur di atas ranjang dengan telanjang dada. Gus Ridlwan yang tadinya tertidur pulas seketika bangun mendengar ada suara dikamarnya.
“loh kamu kok ada di sini…” ucap beliau setengah sadar
“saya kan ngambil baju kotor jenengan Gus…”
“kamu tahu kan saya lagi tidur disini kenapa nyelonong saja…”
“saya tidak tahu Gus…sungguh tidak tahu…” ucapnya penuh rasa bersalah
Ia segera keluar dari kamar itu dengan perasaan masghul, ia sangat kaget akan peristiwa barusan ia tak tahu sama sekali kalo malam ini Gus Ridlwan tidur di kamar, ia tinggal masuk saja seperti biasanya.
“ada apa Nduk…kok kelihatannya muka kamu pucat sekali…” sapa Bunyai ketika mendapati Maknun yang tampak anaeh hari ini
“tidak ada apa-apa Bunyai, saya baik-baik saja…” ucapnya kemudian berlalu ke kamar mandi untuk mencuci baju-baju itu. Setelah itu dia berangkat sekolah…

# # # #

“emang si Maknun itu cari muka ke Gus Ridlwan, buktinya setiap hari ia mondar mandir ke ndalem, mau apa coba kalo nggak caper ke Gus Ridlwan. Mentang-mentang ia cantik dan pinter gitu trus dengan mudah dia mau mengambil hati Gus Ridlwan dasar wanita genit…” ucap suara dari seberang, ia tak tau persis siapa yang bilang barusan, tapi kata-katanya sungguh memekikkan telinga, jantungnya berdebar kencang mendengar hal itu, ingin rasanya nyamperin dan jelasin yang sebenarnya namun ia urung karena tiba-tiba ia di panggil oleh Shofi.
“Mbak Maknun, gi ngintipin apaan sih, serius banget…” ucap Shofi mengagetkan.
“nggak ada Mbak, yuk kita pergi…”
Mereka berdua menuju ke kelas. Sepanjang pelajaran muka Maknun tampak murung, seperti ada masalah yang menimpanya.
“kamu kenapa Mbak Maknun sepertinya ada masalah” Tanya Shofi ditengah-tengah pelajaran, tak tega melihat Maknun yang dari tadi tampak murung. Maknun hanya menggeleng kepala dan menyuruhnya memperhatikan pelajaran. Karena Maknun sedang udzur, ia ahirnya pergi sendiri ke kantin karena Shofi sedang puasa.
“hai Maknun apa sih maksud kamu mencoba mendekat-dekati Gus Ridlwan, emang ia siapamu, pacarmu gitu….seharusnya kamu bisa jaga sikap dong, sama gurunya nggak punya sopan santun…” hertak seseorang dari belakang.
“apa maksud kamu bicara yang tidak sopan seperti itu” hertaknya lagi
“masih menyangkal kamu yah… kamu itu sangat naif ya…. Nggak mau mengakui kesalahan sendiri. Semenjak ada kamu Gus Ridlwan menjadi berubah, tidak lembut dan perhatian seperti dulu sekarang menjadi keras dan tegas itu gara-gara kamu kan…kamu akui saja dan jauhi beliau..”
“ingat ya kalian… apa yang kalian omongkan tidak ada benarnya sama sekali, kalian pasti akan menyesal telah memperlakukan aku seperti ini…”ucapnya dengan menahan tangis yang sudah tak tertahan, kemudian lari tanpa mengambil makanan yang barusan ia beli. Ia sangat malu dan marah dikatain yang bukan-bukan seperti itu, di depan umum lagi, ia tak bisa ngebayangin, gimana tadi mata-mata memandang kearahnya yang sedang dicerca tak karuan. Di tempat yang sepi ia tumpahkan air matanya yang tak terbendung lagi, ia tak menyangka ia akan tertimpa masalah seperti ini, teman-temannya menyangkanya sebagai gadis penggoda. Apa yang harus ia lakukan untuk menepis anggapan-anggapan miring itu. Ia menghabiskan waktunya di tempat sepi itu, ia ingin sendiri.
            Sedangkan di tempat yang lain, Shofi terlihat sangat gelisah ia dari tadi mencari Maknun yang menghilang sejak jam istirahat tadi.
“dimana sih tuh anak, kok tiba-tiba menghilang, nyusahin orang aja…”
Di dalam kelas Shofi nggak bisa consent karena Maknun juga nggak nongol-nongol sampai jam terakhir. Ahirnya ia putuskan untuk menunggunya di gerbang, agar bisa menemukan Maknun. Namun sampai para siswa pada pulang semua tuh anak belum nongol-nongol juga, untung saja begitu ia mau niat pulang terlihat Maknun dengan langkah gontai keluar dari belakang madrasah. Buru-buru Maknun menghampirinya. Ingin rasanya ia marahi si Maknun, tapi ketika melihat mukanya yang udah kayak kepiting rebus karena saking merahnya ia jadi kaget.
“kamu kenapa Mbak… kamu sakit…” ucapnya getir melihat Maknun yang tak karuan bentuknya. Maknun hanya diam saja.
“ya sudah kita bicara baik-baik aja di pondok, biar perasaanmu jadi lebih baik”
“Kamu kenapa Mbak, nggak biasanya sampeyan seperti ini…” Tanya shofi begitu mereka sampai di kamar
“aku di fitnah Mbak…” ucapnya ditengah-tengah tangis
“fitnah apaan? Siapa yang berani-beraninya fitnah sampeyan?”
Maknun mulai menceritakan kejadaian yang barusan ia alami. Tentang dirinya dan Gus Ridlwan
“aku sebenarnya sudah mendengar tentang hal itu sejak dulu Mbak, tapi aku tak tega tuk menceritakannya padamu, aku khawatir terjadi apa-apa padamu kalo mendengar berita ini. Tapi aku yakin suatu hari nanti sampeyan pasti tahu…” Shofi terdiam sebentar tak tega melihat kawannya yang biasanya sangat ceria sekarang seperti tidak berdaya.
“sudahlah Mbak Maknun, jangan terlalu dipikirkan, mereka berbuat seperti itu karena mereka tidak tahu sebenarnya, ada hubungan apa sebenarnya diantara kalian. Semuanya pasti berlalu…” hibur Shofi tulus, sahabatnya satu ini memang sahabat sejati, ia sangat peduli dengan orang lain baik susah atau senang. Ia sangat beruntung bisa bertemu dengannya. Merekapun kemudian tertidur dengan nyenyaknya tanpa ganti baju dulu.
2 jam kemudian
“Mbak Shofi, Mbak Maknun, ayo bangun sudah masuk waktu Ashar” ucap seorang santri membangunkan keduanya kareana sudah terdengar Adzan ashar dari masjid induk
“makasih Mbak…udah dibangunin” ucap Shofi ditengah-tengah kantuknya
“ayo Mbak Nun, kita pulang dah Ashar nih…” ucapnya sambil membangunkan Maknun yang belum bangun juga.

# # # #

            Di dapur sudah tersedia banyak makanan, seperti mau ada tasyakuran, tapi tasyakuran apa? Pikir Maknun dalam hati. Ia jadi bingung sendiri mau ngapain. Ia kemudian bertanya ke mbak-mbak ndalem yang lain.
“kok banyak makanan di dapur Mbak, emang mau ada acara apa?”
“oh itu, nggak ada acara apa-apa Mbak Maknun, cuma tadi ada tamu yang ngasih makanan ke ndalem, jadi sekarang Mbak Maknun nggak perlu repot-repot masak lagi”
Maknun hanya mangut-mangut saja mendengar penuturan mbak ndalem tadi. Ia pun langsung balik ke kamar karena sudah nggak ada pekerjaan lagi. Hari ini adalah pengajian kitab al-Tanbihat al-Wajibat oleh KH. Manshur Shahid, ia langsung pergi mengikuti pengajian beliau. Kali ini beliau sedang menerangkan tentang amaliyah NU dan dasar-dasarnya, kemudian beliau bercerita tentang cerita-cerita rakyat yang mendasari pembuatan kitab itu, yaitu suatu ketika KH. Hasyim Asy’ari pendiri organisasi NU itu di undang dalam acara Muludan[34] ternyata di sana banyak terjadi kemungkaran   seperti ikhtilat antara laki-laki dan perempuan, orkesan, dan yang lain-lain. Ini yang membuat beliau resah, karena sebenarnya acara untuk memperingati kelahiran nabi yang seharusnya diisi dengan pembacaan solawat untuk baginda nabi, namun malah banyak kemungkaran disitu. Ahirnya beliau mengarang kitab yang berjudul al-Tanbihat al-Wajibat. Yai Manshur memang sangat dalam pemahaman kitabnya mengenai ketauhidan dan ilmu fiqih sehingga penjelasan beliau sangat gamblang dan mudah di pahami, ketika beliau menceritakan atau menggambarkan sesuatu seakan-akan orang yang diceritani bagaikan melihat sendiri dan merasakan sebagaimana tokoh yang diceritakan. 
            Jam 5 sore pengajian selesai, para santri kembali ke kamarnya masing-masing, namun ada yang ganjil, banyak mata-mata yang melihatnya sepertinya ingin menelanjanginya, benci dan dendam padanya, sepertinya mereka sangat benci padanya. Maknun hanya bisa menunduk ia tahu apa sebenarnya yang mereka inginkan kalau mereka tidak sungkan dengan forum pengajian seperti ini pasti ia sudah di labrak habis-habisan oleh orang-orang yang syirik padanya. Mungkin ini adalah resiko menjadi orang yang punya hubungan dengan pria yang jadi idola wanita, sehingga menjadi bahan cemoohan banyak orang. Tapi ia tak ingin menyalahkan siapapun, ini sadar ini  adalah  cobaan baginya ia harus sabar menghadapinya.
Ia cepat-cepat berlari kekamar mandi karena takut nggak dapat antrian jeding.
“mbak jeding pojok antri dong….” Ucapnya sambil terengah-engah
“siapa…” Tanya orang dari dalam kamar mandi
“Maknun Mbak….”
“nggak ada antrian untuk kamu, antri ke jeding lain aja….”
Maknun hanya bisa melongo mendengar sahutan dari dalam kamar mandi itu, nggak habis pikir kenapa ia jadi kayak penjahat yang harus dijauhi. Ia jadi kemaghriban karena menunggu antrian yang begitu panjang. Bel tiga jamaah maghrib baru ia keluar dari kamar mandi sambil tergopoh-gopoh karena jamaah akan dilaksanakan. Lima menit kemudian jamaah sudah di imami sepertinya Bunyai mau pergi jadi jamaah agak di awalkan.
“makanya Nun…jadi anak jangan kegenitan, makanya sekarang banyak yang ngisengin kamu, rasain…” ucap seseorang dari belakang ketika melihat Maknun ketinggalan jamaah dan berada di shof paling belakang. Ia hanya bisa beristighfar dalam hati, kenapa cercaan itu tak henti-henti menimpanya.

# # # #

            Kali ini Bunyai mengajarinya masak rendang, sudah ada bumbu-bumbu lengkap tinggal masak saja, Maknun hanya di suruh memotong-motong bumbu-bumbunya saja, bawang putih, bawang merah, kencur, jahe dan lain-lain, Maknun sampai nggak paham masaknya gimana, ia hanya melihat saja.
“Nun…kalo wanita itu sudah berkeluarga harus bisa masak, itu penting, karena biasanya yang dicari oleh para suami itu selain istri yang sholihah, itu pasti, selain itu dia juga harus jago masak, itu juga lo termasuk salah satu daya pikat wanita pada pria, kamu nggak tau ya… makanya Abah itu kesemsem sama Ibu juga karena masakan Ibu enak, iya kan… hehehe. Kok jadi sombong ya….” Ucap Bunyai, belaiau bagai ibu kandung sendiriyang begitu sabar dan telaten merawat putrinya. Bunyai juga mengajarinya bagaimana cara melayani suami yang baik itu bagaimana, ini bisa jadi pengalaman yang terbaik untuknya pada masa mendatang.
“kamu itu harus bangun lebih awal dari suamimu, jangan sampai suamimu yang lebih dulu membangunanmu, karena kamu harus mempersiapkan seluruh keperluan suamimu sebelum dia berangkat, biar nanti dia bisa berangkat kerja lebih awal, dan juga kalo sudah punya anak nanti kamu juga harus bisa membagi waktu untuk melayani keduanya dengan baik. Makanya itu Nduk jadi istri sekaligus ibu itu sangatlah sulit harus bisa menyeimbangkan antara tanggung jawab masing-masing, apalagi kalo kamu nanti jadi wanita karir, itu malah super sibuk. Pesan Ibu kamu harus bisa menyeimbangkan tanggungjawabmu sebagai istri bagi suamimu dan ibu bagi anakmu….” Bla…bla…. Bla… banyak banget deh nasehat Bunyai sampek ia pusing dengerinnya. Pokoknya tentang istri yang sholihah. Tak lama kemudian Abah Yai datang menengok keadaan dapur
“sudah matang Bu masaknya…” Tanya Abah Yai
“sebentar Bah, sebentar lagi matang…”
“ayo Nun, kamu siapkan hidangannya, trus bawa ke meja makan, Abah sudah nimbali[35]” perintah Bunyai. Setelah itu Maknun di suruh makan bareng bersama Bunyai, tapi ia menolaknya. Begitulah Bunyai, yang sangat telaten dan dermawan, pekerjaan apapun yang bisa dilakukannya langsung beliau kerjakan tanpa minta bantuan mbak-mbak ndalem. Sehingga bisa mengurangi  pekerjaan mbak-mbak ndalem.
            Sebulan sudah ia menjadi “pembantu” di rumah Gus Ridlwan, Maknun dengan sabar menjalani hukuman yang diterimanya meskipun sebenarnya sangat tak diterimanya. Kemudian ia pergi menghadap Gus Ridlwan untuk minta izin bahwa hukumannya telah selesai.
“gimana Gus, dengan hukuman saya, saya sudah menjalankan tugas saya seperti yang jenengan inginkan, apakah saya sudah bisa bebas”
“hmmm…gimana ya enaknya, saya kok merasa kurang puas dengan pekerjaan kamu, sepertinya ada yang kurang beres…” hilah Gus Ridlwan. Hatinya udah mulai dongkol kalo Gus Ridlwan mau berbuat yang aneh-aneh pada dirinya. Maunya apaan sih, “mana mau aku punya suami yang tukang perintah kayak gini” ucapnya dalam hati.
“ya sudah…”
“berarti saya bebas Gus…” ucapnya girang
“heh, kalo orang ngomong jangan di potong dulu, makanya salah paham. Saya belum selesai ngomong, maksud saya ya sudah saya pikirkan dulu…”
“hah……….jenengan sengaja yah, mau ngerjain aku, nggak bisa kayak gitu dong Gus, emang saya ini disuruh mondok disini hanya untuk menerima hukuman dari jenengan yang di buat-buat tanpa alasan itu. Saya kesini itu untuk mondok, untuk belajar Gus…” cercanya panjang lebar
“sejak kapan kamu diajari membantah perintah gurumu heh….pakek bentak lagi, seperti itu akhlak santri. Kalo nggak terima ya pulang saja sana…” ucap Gus Ridlwan dingin
Sungguh hatinya bagai di tusuk duri mendengar penuturan Gus Ridlwan yang sangat tidak sopan padanya. Ia sangat tersinggung mendengarkannya, seumur-umur ia tak pernah dikatain orang seperti itu, sebagai putrinya kiyai seperti Gus Ridlwan, ia juga punya harga diri. Tidak terima begitu saja atas perlakuan Gus Ridlwan padanya. Langsung ia berdiri meninggalkan Gus Ridlwan tak peduli dianggap lancang atau apaan, sekarang hatinya sedang terluka. Dikamar ia tumpahkan air matanya, di tenggelamkan wajahnya di bawah bantal, ia menangis tersedu-sedu teman-teman sekamar jadi bingung melihat kelakuannya yang tiba-tiba datang langsung nangis itu.
“Maknun, kamu kenapa ?” sapa Ila teman sekamarnya
Ia hanya menggeleng tak ingin menjawab.
“ya sudah kalo nggak jawab, kamu tenangin dulu perasaanmu, nanti cerita ya…” kemudian Ila membaringkannya di atas kasur supaya Maknun lebih nyaman dan tenang.
“kamu istirahat dulu ya…”
            Sedangkan Gus Ridlwan, tiba-tiba perasaannya tidak tenang, ia merasa bersalah pada Maknun, kenapa ia bicara tidak sopan pada pujaannya itu, bukankah ia mencintainya…bukankah ia menyayanginya, kenapa ia bisa menyakitinya. Ia sangat menyesal. Ia langsung menuju pondok putra.
“ada apa Gus…kok gelisah banget kelihatannya….”
“aku mengulangi kesalahanku Mus…”ucapnya pada ustd. Musthofa
“kesalahan apa?”
“aku sama sekali tidak bisa mengontrol emosiku kalo aku ada disampingnya, perasaanku suka nggak karuan bila ada didekatnya, sehingga rasanya aku tersiksa sekali bila hal itu muncul tiba-tiba dan akhirnya aku lontarkan dengan memarahinya, tapi sama sekali aku tidak membencinya, aku tidak ingin memarahinya, tapi kondisiku yang lemah ini menjadikanku meluapkan emosiku didepannya. Terus tadi ia sepertinya sangat terpukul dengan kata-kataku, karena aku meghinanya sebagai anak yang tak tahu sopan santun…” ucap Gus Ridlwan penuh perasaan, dari raut mukanya ia tampak sangat sedih, membuat orang yang melihatnya jadi iba. Ustdz. Musthofa mengambil nafas panjang setelah mendengar penuturan Gus Ridlwan barusan, sudah berulang kali ia diberitahu mengenai hal ini, dan juga sudah berulangkali ia katakana pada Gus Ridlwan bahwa hal itu jangan sampai dilontarkan menjadi amarah apalagi di hadapan orang yang dicintanya, ini permasalahannya jadi ruwet.
“cara satu-satunya sampeyan harus minta maaf padanya dan katakan yang sesungguhnya pada dia tentang perasaan sampeyan, sampeyan harus bisa Gus, ini adalah kesalahan yang fatal tak ada lagi cara lain kecuali itu, terserah sampeyan mau nuruti saran saya atau tidak…”    
Gus Ridlwan tak memberi komentar apapun,  beliau tampak berfikir keras.
“mungkin hanya itu jalan satu-satunya Mus…baik akan coba aku pahami dan akan aku lakukan…” ucapnya mantap
“aku hanya bisa mendoakan semoga kalian akhirnya bisa bersatu dan bahagia…” dari raut mukanya terlihat harapan yang dalam untuk kebahagiaan teman sekaligus putra kiainya tersebut. Ingin melihatnya bahagia dalam limpahan rahmat dalam naungan cinta sejati.

# # # #

“Mi… tolong sambang aku ke sini Mi…aku banyak masalah, aku pengen dipeluk Umi, aku tak kuat lagi dengan keadaan seperti ini” ucapnya dengan tangis dalam telpon. Umi terkaget-kaget mendengar penuturan anaknya yang sangat tidak wajar sebagaimana biasanya, sebelumnya ia sama sekali tak pernah mengeluh apalagi menangis sambil minta disambang, ini pasti ada yang tak beres dengannya.
“kamu kenapa Nak…” ucap suara dari seberang penuh kekhawatiran
“nanti aku ceritani kalo udah disini… ya sudah Mi…assalamu alaikum”
“wa alaikum salam”
“ada apa Mi…kok kelihatannya serius banget, ada apa dengan Maknun?” Tanya Abah yang juga merasakan keganjilan dari suara putrinya ditelpon tadi
“sepertinya anak itu dalam masalah besar Bah, ia tak mau menceritakan apa yang sedang ia alami, ia hanya minta kita suruh nyambang dia besok, gimana Bah?”
“ya sudah kita kesana besok”
            Maknun tidak sekolah hari ini, ia izin akan di sambang, meskipun orang tuanya belum datang. Sekitar jam 12 siang  KH. Thoha  Adnan dan istri Ibu Hj. Mahsunah, datang di ponpes Darut Taqwa, dan langsung menuju ndalem untuk menemui putrinya. Sedangkan Bunyai Hamidah yang sedang santai-santai di ndalem sangat kaget melihat kedatangan calon besannya dari Surabaya itu tanpa memberitahu sebelumnya.
“masya Allah, Pak Yai, Bunyai, kok nggak ngasih kabar dulu sebelumnya kalo mau kesini kenapa tiba-tiba… monggo-monggo[36]” ucap Bunyai mempersilahkan tamu agungnya itu
“kami mau bertemu dengan putri kami Maknun, kelihatannya ia dalam masalah Bu, makanya kami kesini atas permintaannya”
Bunyai Hamidah kaget mendengar penuturan Bunyai Mahsunah ibunda Maknun tentang putrinya, ia sama sekali tidak mendengar kabar apapun mengenai Maknun kecuali ia baik-baik saja.
“lo ada masalah apa Bu ya…saya kok nggak dengar apa-apa?”
“lo Bunyai juga ndak tau to masalah ini, kami juga belum tahu tentang masalahnya si Nduk, tapi sepertinya ia sangat tersiksa”
Bunyai Hamidah juga tak kalah kagetnya mendengar kabar-kabar yang sama sekali ia tak tahu menahu soal itu, padahal ia yang selama ini bersama dengan Maknun namun tak ada tanda-tanda dia ada masalah
“ya sudah kalau begitu saya panggilkan dulu Maknun” ucap Bunyai sambil berlalu ke belakang.
Abah Yai Manshur masih mengajar di madrasah, setengah jam lagi mungkin akan datang. Sedangkan Gus Ridlwan sangat terkejut melihat ada mobil dengan nomor Surabaya pasti itu mobilnya Yai Thoha, Abahnya Maknun. Ia jadi was-was, pasti ini ada hubungannya dengan kejadian kemarin. Ia cepat-cepat menuju ndalem, kemudian ditemuinya tamunya itu.
“loh Gus Ridlwan…” sapa Yai Thoha ketika melihat Gus Ridlwan datang menyalaminya “apa kabarnya Gus…sudah ada perkembangan”
“Alhamdulillah Yai, saya baik-baik saja, kok tiba-tiba Yai kesini tidak kasih kabar dulu…” Tanya Gus Ridlwan basa-basi. Kemudian Yai Thoha menceritakan kronologinya. Gus Ridlwan sudah menduganya ini pasti ada hubungannya dengan kejadian kemarin ini pasti akan jadi masalah diantara keluarganya, ia takut terjadi hal-hal yang tak diinginkannya diantara keluarganya. Maknun datang menghadap Abah dan Uminya yang ada bersama Gus Ridlwan di ruang tamu. Gus Ridlwan tidak tahu harus berbuat apa ia sangat khawatir, matanya sempat menatap mata Maknun sepertinya beliau ingin mengungkapkan sesuatu lewat pandangannya penuh harapan, namun kelihatannya Maknun tidak  peduli. Gus Ridlwan tahu diri ia pergi meninggalkan keluarga itu agar bisa lebih leluasa.  
“kamu kenapa Nduk…” tanya Umi lembut, Maknun langsung merangkul Umi begitu datang. Sambil menangis di pelukannya. Umi jadi iba.
“aku kangen banget sama Abah dan Umi makanya aku pengen Abah dan Umi kesini, jenguk Maknun…” rengeknya seperti bayi.
“Tapi sebenarnya kamu kenapa Nun, sampek nangis segala minta Abah dan Umi kesini…”
Ia sebenarnya ragu menceritakannya, tapi ia sudah tak bisa menyimpannya sendiri, karena ini juga tanggungjawab orangtuanya. Maknun menceritakan apa yang terjadi padanya, tentang fitnah dan cercaan teman-teman padanya, namun ketika ingin membahas tentang Gus Ridlwan ia jadi ragu, haruskah ia menceritakannya. ia takut nantinya akan jadi bomerang pada dirinya sendiri, karena kalau sampai orangtuanya tahu tentang pertengkarannya dengan Gus Ridlwan pasti beliau marah besar dan bisa-bisa kedua keluarga itu akan berseteru.
“trus apa Nduk…ceritakan saja, nggak usah takut…” ucap Umi penasaran mendengar lanjutan kisah Maknun
“nggak ada Mi…cukup itu, pokoknya sekarang posisiku sangat terpojok, aku tak tahu harus bagaimana, mau terus terang malah nanti akan timbul masalah lain, kalau hanya diam saja seperti ini sampai kapan fitnah-fitnah itu akan selesai…”
Abah dan Umi terdiam sebentar, mereka tak tahu harus ngomong apa.
“ya sudah nanti biar Umi dan Abah yang ngomong ke Yai mu minta pertimbangan beliau, ini juga menyangkut kehormatan keluarga kita semua di hadapan para santri”
            Semenjak tadi Gus Ridlwan nggak henti-hentinya baca istighfar, memohon pada sang pencipta agar tidak terjadi fitnah apapun setelah ini.
“kamu itu kenapa to Wan… dari tadi Ibu lihat nggak tenang blas[37]…” Tanya Bunyai yang juga duduk tak jauh dari Gus Ridlwan di ruang makan.
“nggak kenapa-napa kok Bu…saya baik-baik saja…”
“emang ada apa dengan anak itu, kamu yang bikin gara-gara ya… kalo ibu lihat kemarin ia baik-baik saja malah ia terlihat senang karena bisa banyak belajar dari Ibu, tapi sekarang kok malah sebaliknya….” Tutur sang Ibu penuh curiga
“Ibu jangan menuduhku yang bukan-bukan, aku tak pernah punya masalah dengannya, kalaupun iya itu cuma sekedar masalah pelajaran Bu…nggak lebih”
“kamu sebagai gurunya dan calon suaminya seharusnya punya wibawa didepannya, jangan jadikan dirimu tak punya harga diri didepannya gara-gara sikapmu yang aneh dan suka seenaknya sendiri dengannya, itu menjadikan dia benci denganmu, bukan malah menjadikan hubungan kalian makin erat…” nasihat Ibu panjang lebar. Seketika itu Gus Ridlwan seperti kesentil dengan ucapan Ibunya barusan, seakan beliau tahu akan sepakterjangnya pada Maknun.
“Geh Ibu…”jawabnya singkat
Yai Manshur pergi menemui tamunya di depan. Sambil menjabat tangan Yai Thoha setelah itu merangkulnya, beliau meneruskan percakapannya
“sebenarnya ada apa dengan Maknun…” Tanya Yai Manshur
Abah Thoha mulai menceritakan apa yang dikeluhkan Maknun padanya. Yai Manshur sangat kaget mendengar hal itu, karena tak tahu-menahu tentang fitnah yang tersebar di kalangan para santrinya.
“sebenarnya ini adalah akibat perbuatan kita yang tertutup dengan rencana perjodohan ini, ataukah lebih baiknya jangan kita rahasiakan saja, biarkan para santri tahu, sehingga mereka tidak su’udzon dengan anak-anak kita. Karena Maknun yang langsung berinteraksi dengan para santri akhirnya ia yang harus kena getahnya…ia sering di cemooh dan di hina nggak karuan oleh para santri yang lain…”
“bagaimana kalau acara pernikahan mereka kita ajukan saja, kita akadi dulu mereka, masalah resepsi kita tunggu sampai Maknun lulus sekolah dulu…” terang Yai Manshur beri usul
“ya bisa-bisa…aku setuju dengan usulmu…”
Mereka pun keluar dari ruang perpustakaan Yai Manshur. Rencananya mungkin satu bulan lagi. Abah dan Umi pamit pulang. Meskipun hari sudah malam, mereka harus segera pulang karena para santri di rumah pasti sudah menunggu kedatangan pengasuh mereka. Sesampainya dirumah Abah Thoha menceritakan perihal musyawarah keduanya tadi siang di perpustakaan Yai Manshur. Umi tak ada masalah dan menyetujui rencana itu. Sedangkan Yai Manshur juga memberitahu istrinya Bunyai Hamidah tentang rencana akadan putranya dangan putri Yai Thoha agar dipercepat. Bunyai juga menyetujuinya, ternyata kedua keluarga itu sama-sama menyetujui tinggal menentukan bulan dan tanggalnya. Tanpa sepengetahuan kedua calon mempelai kedua keluarga itu telah merencanakan acara akadan mereka, mengenai tempat dan waktunya mereka telah menentukan. Di rumah KH. Thoha Adnan, hari Kamis legi, tanggal 29 bulan Agustus mendatang,  sekitar 24 hari lagi.
            Bunyai mulai repot dengan tetek bengek yang harus di bawa pada akadan mendatang, ia mengajak Bunyai Saroh adiknya yang ada di Nguling Pasuruan untuk diajak belanja keperluan akadan, tinggal seminggu lagi acara akadan akan berlangsung dikediaman KH. Thoha Adnan di daerah Wonocolo Surabaya.
“Ridlwan mana…” panggil Abah
“di pondok putra Yai…”matur salah seorang santri ndalem
“tolong panggilkan dia, suruh kesini…” perintah Abah Yai
“geh Yai…”
Santri itupun kemudian pergi menuju pondok putra mencari Gus Ridlwan yang sedang asyik ngobrol bersama para asatidz di kamarnya
“Gus ditimbali Abah suruh menghadap beliau sekarang” matur santri itu pada Gus Ridlwan
maturnuwun Kang, baik saya segera ke sana”
“aku pergi dulu, wassalamu alaikum…”
“wa alaikum salam…” jawab mereka serentak
“Ridlwan… kamu besok hari Kamis akan Abah nikahkan dengan Maknun, kamu siap?” ucap Abah tanpa basa-basi. Gus Ridlwan kaget dengar penuturan Abah barusan
“Abah ini sungguh-sungguh atau hanya guyon…” tanyanya memperjelas pernyataan abah barusan
“ngapain Abah guyon untuk masalah seperti ini Le… ini kan sudah dari dulu Abah rencanakan, karena banyak berita miring mengenai kalian sehingga kami putuskan untuk mempercepat pernikahan kalian itu demi kemaslahatan keluarga kita”
“baik Bah saya siap”ucapnya mantap
Serasa ada angin segar menerpanya, hatinya berbunga-bunga. Ini yang ia nanti-nantikan, ahirnya akan jadi kenyataan. Tanpa ia pinta dan dia atur rencana pernikahannya berlangsung tanpa ia banyak berbuat sesuatu.  Maknun pun tak tahu menahu soal itu. Ia terlihat enjoy saja, setelah kunjungan orang tuanya itu ia jadi kuat kembali, fitnah atau cercaan yang menimpanya ia anggap angin lalu, cepat atau lambat kabar tentang perjodohan mereka pasti akan terdengar juga. Gus Ridlwan kini tidak banyak bersinggungan dengan para santri putri setelah mendengar fitnah-fitnah itu. Ia jadi sangat kasihan pada Maknun sehingga ia mencoba menjauhinya agar tidak tambah ruwet urusannya. Setelah itu undangan di bagikan pada seluruh saudara dan kolega KH. Manshur Shahid untuk menghadiri acara ijab Kabul Gus Ridlwan dengan Neng Maknun.
“perasaanku kok nggak enak ya Mbak ahir-ahir ini, aku sering ngerasa gelisah tanpa sebab…kenapa ya…” curhatnya pada Shofi setelah pelajaran jam pertama selesai.
“trus…”
“ya itu masalahnya Mbak… aku jadi nggak mood mau ngerjain sesuatu, bawaaanya malas terus”
“kamu harus banyak istighfar Mbak, Biar nanti perasaanmu jadi lebih tenang, mungkin itu hanya godaan syetan belaka”
Hari Kamis tanggal 29 Agustus 2011
            Maknun di timbali[38] pagi-pagi sekali oleh  Bunyai, sehabis Jamaah subuh ia suruh menghadap ke ndalem.
“Maknun…kamu nanti izin nggak masuk sekolah dulu, karena nanti akan Ibu ajak ke pertemuan keluarga, jangan lupa persiapkan dirimu, bawa barang-barangmu yang perlu di bawa, karena perjalanan kita mungkin agak lama” dawuh Bunyai dengan muka berseri-seri.
“baik Bu…”ucapnya kemudian berlalu dari hadapan beliau. Timbul banyak pertanyaan dibenaknya, ia mau diajak kemana emangnya, kok pakek bawa barang-barang segala? Pikirnya dalam hati. Ketika keluar dari ruang keluarga ia berpapasan dengan Gus Ridlwan yang sudah tampak rapi dan tampan, bau parfumnya sampai tercium dari jarak jauh, Gus Ridlwan memandangnya dengan begitu seksama, seperti tak ingin lepas memandangnya, tak lupa senyumannya yang menawan itu menghiasi bibirnya. Ia jadi risih sendiri dengan keadaan seperti itu, ia percepat langkahnya dari hadapan Gus Ridlwan.
“ada apa Mbak Maknun ditimbali Bunyai…”Tanya Shofi
“mau diajak tindaan..tapi nggak tau kemana, oh iya aku belikan surat izin dulu ya… aku harus siap-siap sekarang…” ucapnya lalu pergi ke kamar
            Maknun kemudian mengemasi pakaian yang akan dibawanya bepergian, hanya dua potong saja serta tak lupa peralatan mandi dan kosmetik yang biasa ia bawa kalau pergi. Setelah selesai ia langsung menuju ndalem takut sudah ditunggu oleh Bunyai, ternyata di sana Bunyai juga tengah bersiap-siap. Tak lama kemudian Abah Yai dan Bunyai keluar dari kamar dengan pakaian rapi dan mewah, tidak seperti biasa. Melihat Maknun sudah berada di ndalem menunggu beliau berdua, Abah Yai dan Bunyai tersenyum arif padanya.
“kamu udah siap Maknun… ya sudah kalau gitu kita berangkat sekarang”
dengan di supir kang Arif sopir Yai Manshur mereka berangkat meninggalkan rumah menuju tempat yang akan jadi saksi janji suci kedua anak Adam. Perjalanan Pasuruan-Surabaya kurang lebih memakan waktu 5-6 jam, melihat kondisi dan situasi di jalan.  Ketika memasuki daerah Surabaya Bunyai mulai angkat bicara
“Maknun…kamu mau tahu sekarang mau di ajak kemana…?” Tanya Bunyai
“tidak Bunyai”
“kita akan pergi kerumahmu…”
Maknun sangat terkejut, namun ia hanya diam saja.
“kamu tidak perlu kaget atau takut, kita mau kesana karena menyaksikan acara akad nikah kamu”
Tak ayal Maknun tersentak kaget, ia sampai terbatuk-batuk mendengarnya
“apa benar yang Ibu katakan…” tanyanya sekali lagi seakan tidak percaya akan apa yang barusan ia dengar
“iya betul Maknun, kita pergi ini untuk menikahkanmu dengan putra kami Muhammad Ridlwan, kamu setuju kan. Maafkan kami, karena tidak memberitahumu dulu masalah ini, karena kami ingin membuat surprise untukmu”
Tanpa sadar airmatanya berlinang membasahi pipi lembutnya.
“sudahlah Maknun kamu tidak perlu bersedih, mungkin ini adalah suratan takdir untukmu, tuhan telah rencanakan ini padamu, mau tak mau kau harus bisa terima… sudah jangan terlalu dipikirkan karena ini adalah hari bahagiamu, jadi sudah jangan menangis lagi yah…” hibur Bunyai, sambil dipeluknya gadis itu dalam dekapannya bagai anaknya sendiri, karena sebentar lagi memang dia akan jadi bagian dari keluarganya. Abah di depan juga melihat pemandangan itu dengan perasaan iba.
Sekarang mobil bermerek Honda CR-V itu sudah memasuki kawasan pondok pesantren as-Syafa’ah. Terlihat banyak mobil berderet di halaman rumahnya, pasti walimahnya akan di mulai sebentar lagi. Ia turun dari mobil dengan perasaan tak karuan ia jadi salah tingkah sendiri, rupanya Umi dan Abah telah menunggunya didepan rumah membuat perasaan tambah kacau kemudian serta merta memeluk beliau berdua dan menangis dihadapan para tamu, tak peduli apa kata orang, karena kini ia akan menghadapi peristiwa bersejarah dalam hidupnya, sebuah janji suci yang setara dengan janji para nabi dan wali Allah. Kemudian Umi segera membawanya ke dalam untuk didandani. Rumahnya sudah penuh dengan tamu yang rata-rata masih keluarga dekat. Mungkin hanya acara akad nikah sehingga tamu undangannya cukup orang-rang terdekat saja. Dengan balutan busana pengantin putih, Maknun terlihat sangat cantik dan anggun. Disampingnya duduk Umi dan kakak-kakanya, tapi ia dari tadi tak lihat Mas Irfan , dimana kakaknya yang satu ini, rasanya ia sangat rindu, ingin rasanya ia mencium tangannya meminta doa darinya, karena kini ia akan tidak bisa seperti dulu lagi bermanja-manja dengannya. Acara akad nikah akan segera berlangsung, Abah sendiri yang mengakadi, dalam balutan koko putih dengan sarung abu-abu serta berpeci putih, Gus Ridlwan memasuki ruang tamu ndalem tempat akad nikah akan dilangsungkan.
“ya Muhammad Ridlwan bin KH. Manshur Shahid ankahtuka wa zawwajtuka makhthubataka Churin In Maknunah bin KH. Thoha Adnan, bi Mahri alfu rubiyatin wa alatu solatin haalan…” ucap Abah dengan lantang
“qobiltu nikahaha wa tazwijaha bi mahril madzkur haalan…” jawab Gus Ridlwan tidak kalah mantap. Kemudian doa dilangsungkan dan dipimpin lansung oleh KH. Thoha Adnan dan KH. Yusuf sepupu Abah dari Tanggerang. Serasa jarum jam bagai berhenti ketika Gus Ridlwan mengucap lafadz nikah tadi, separuh jiwa Maknun bagai terlepas terasa ringan dan begitu lega. Kini ia sah menjadi seorang istri dari Muhammad Ridlwan, guru sekaligus Gus-nya. Kemudian acara dilanjutkan dengan pembacaan solawat. Iring-iringan solawat dari para munsyid sangat menyentuh hati para hadirin, terasa nikmat dan indah di dengar.  Para tamu undangan kemudian menyalami keduanya memberikan selamat pada kedua mempelai yang sedang bergembira, kedua mata itu saling bertemu menyiratkan sebuah makna yang dalam dan rasa rindu yang mendalam, tapi pandangan mata itu tak berlangsung lama hanya sekilas karena keduanya kini tengah sibuk melayani para tamu.
            Hari sudah mulai petang, para tamu juga sudah sama pulang tinggal keluarga saja dirumah, mereka sedang duduk-duduk bersama di ruang tamu. Semuanya lengkap dari keluarga Maknun Gus Abid bersama istri, Neng Raudloh bersama suami, Mas Irfan. Dari keluarga Gus Ridlwan juga lengkap ketiga adiknya juga datang, yaitu neng Arin, Neng Fia dan Neng Aim.
Sedangkan Gus Ridlwan dan  Neng Maknun duduk berdampingan.
“siapa ya habis ini yang nyusul” ucap Bunyai Hamidah becanda
“ya itu Mas-mu, Irfan kayaknya ia juga udah kepengen” goda Umi menimpali
“harapan kami besar pada kalian berdua, karena kalian adalah calon penerus perjuangan kakek kalian, oleh karena itu kami hanya bisa mendoakan semoga hidup kalian diberkahi dan dirahmati” kata Abah Thoha sebagai pimpinan keluarga
“inilah yang kami inginkan pas kami masih mondok dulu, kami ingin jadi besan, eh ternyata kesampean juga…hahaha” ucap Yai Manshur membuka kedok mereka yang menyebabkan kedua anaknya jadi korbannya, seluruh hadirin yang ada sama tertawa mendengarnya.
            Kini mereka hanya berdua dalam kamar, Maknun duduk terdiam sambil nonton televisi yang ada di kamarnya, sedangkan Gus Ridlwan sibuk dengan laptopnya, mereka sepertinya tidak peduli satu sama lain sibuk dengan pekerjaanya sendiri, seperti tidak ada orang lain didalam kamar itu kecuali dirinya.
“Maknun aku haus apa aku bisa minta tolong ambilkan minum untukku…” pinta Gus Ridlwan
“baik…” ucapnya sambil berjalan keluar kamar
“ini minumnya…” ucapnya sambil menaruh segelas air putih di meja tempat Gus ridlwan mengetik.
“jangan menjauh duduklah disampingku” pinta Gus Ridlwan lagi, ketika ia hendak beranjak dari hadapan Gus Ridlwan. Dengan ragu ia mendekat kembali ke tempat Gus Ridlwan berada.
“aku ingin bicara denganmu…” Gus Ridlwan tidak meneruskan kata-katanya, membuat Maknun jadi penasaran
“aku ingin katakan ini dari dulu, tapi aku tak mampu untuk ungkapkan itu, Maknun… aku…aku mencintaimu, sungguh mencintaimu” dipegangnya tangan lembut Maknun, seakan ingin memberitahu kalau perasaan ini sungguh benar adanya. Maknun hanya diam ia tak tahu harus bagaimana, perasaannya jadi nggak karuan diantara bahagia dan canggung campur jadi satu.
“jawab Maknun…jawab…”
“apa yang harus aku jawab…” ia malah balik bertanya
“apakah kamu juga mencintaiku…”
“aku manut jenengan saja”
“Alhamdulillah…Maknun sebenarnya ada yang ingin aku sampaikan lagi, yaitu aku ingin minta maaf padamu tentang sikapku yang selama ini tidak sopan padamu, sampai-sampai membuatmu sakit hati dan sangat membenciku, kalau boleh aku jujur, setiap aku melihatmu, saat itu pula perasaanku berubah tak karuan aku sampai tak bisa ngontrol perasaanku, ingin rasanya aku buang saja perasaan yang sangat menggangguku ini, karena kelemahanku inilah aku hanya bisa mengungkapannya dengan selalu memarahi dan menyalahkanmu, sekali lagi maafkan aku Maknun, apakah kamu mau memaafkanku…”
Maknun tak segera menjawab. Kemudian dia ada ide
“baik akan saya maafkan tapi ada satu syarat…”
“apa itu” Tanya Gus Ridlwan kaget
“jenengan harus mencucikan bajuku selama seebulan, kalau tidak maka permintaan maaf dari jenengan tidak aku terima, mau nggak” tantang Maknun
“hahaha …kamu ini ada-ada saja, baik akan aku lakukan dengan senang hati istriku” ucapnya sambil tertawa
Merekapun tenggelam dalam cinta yang begitu indah, malam yang panjang dan indah serasa milik berdua, menatap wajah sang istri yang bagai rembulan begitu bersinar dan menawan, maha suci dzat yang mengukir wajah begitu indah menyejukkan hati bila memandangnya. Senyum indah menghias bibir merah itu, membuat naluri kelaki-lakiannya mulai tergerak. Ia sudah tak tahan dengan kondisi seperti ini.
Terang bulan menjadi saksi perpaduan manis insan yang saling dimabuk cinta
Jiwa-jiwa yang kosong dan  resah kian tersinari menyambut nur ilahi 
Maha suci Allah yang menciptakan manusia berpasang-pasangan
Bagaikan dua sisi mata uang yang tak kan pernah bisa terpisahkan



# # # #

           
tiga hari kemudian
“kamu kok kelihatan beda Mbak Maknun...” ujar Shofi merasa ada yang aneh semenjak kedatangan Maknun pagi tadi.
“apanya yang beda biasa aja kok...” ucapnya dengan nada wajar
“nggak beneran kamu kelihatan lebih cantik dari biasanya dan rasanya ada yang beda dari sampeyan tapi aku nggak bisa ungkapinnya...”
“hahaha...Mbak Shofi ini ada-ada aja, kalo aku cantik emang dari dulu, terus yang pengen sampeyan ungkapin itu apa?”
“Mbak Maknun pasti ada yang sampeyan sembunyikan dari saya yah... ayolah Mbak ngomong aja, aku penasaran nih... pasti ada hubungannya dengan Gus Ridlwan...” tebaknya
Maknun menarik nafas dalam, ia tak tahu harus bagaimana.
“sekali lagi aku tekankan ya Mbak, kemarin aku cuma di ajak Bunyai ke rumah temannya di Banyuwangi ada mantenan disana. Nggak lebih itu tok, apalagi masalah Gus Ridlwan nggak nyinggung sama sekali...” maafkan aku Mbak Shof, aku nggak bisa jujur denganmu masalah ini, karena ini adalah rahasia keluarga.” Ucapnya dalam hati.
Dengan berat hati Shofi menerima jawaban yang diutarakan Maknun meskipun dalam hati ia masih mengingkarinya.
            Ia masih menjaga jarak dengan Gus Ridlwan, tidak tampak sama sekali diantara mereka bahwa mereka telah berstatus suami-istri, bahkan sekarang sering sekali Gus Ridlwan tindaan entah kemana sehingga jam pelajaran beliau digantikan oleh santri-santri yang lain. Mereka ingin menhilangkan fitnah-fitnah yang meluas diantara para santri, sampai akhirnya omongan-omongan itu pun hilang-hilang sendiri.

# # # #

Bulan April
            Para santri khususnya santri akhir tingkat Aliyah disibukkan dengan ujian-ujian kelulusan yang akan diselenggarakan pada akhir bulan ini, semenjak awal semester dua mereka telah di dreal dengan berbagai macam pendalaman mata pelajaran yang akan di UN-kan.
“kok aku udah nggak denger lagi tentang perjodohan kalian Mbak Maknun...” tanya Shofi tiba-tiba
“aku nggak pengen ngurusi itu Mbak, karena sekarang aku pengen konsent dengan ujian ini, orangtuaku juga sudah paham tentang itu”
“tapi kelanjutannya bagaimana?” tanyanya lagi
“lah itu... aku juga nggak ingin tahu biar orangtua saja yang mikirin”
“tapi aku lihat Gus Ridlwan tidak seperti dulu lagi, beliau seperti jaga jarak dengan kita, malah sekarang sering-seringnya pelajran beliau dibadalkan sama kang-kang”
“yah mungkin Gus Ridlwan sekarang lagi banyak urusan Mbak Shof, aku lihat beliau sering ikut Abah ke pengajian-pengajian beliau...”
“tapi gimana ya Mbak reaksi santri kalo tahu tentang pernikahan kalian... wah pasti heboh...” pikirnya “yang pasti kalo sampeyan jadi nikah dengan Gus Ridlwan jangan lupa aku di undang loh...”
Maknun hanya tersenyum simpul mendengar perkataan Mbak Shofi barusan.
Ujian Nasional MA
            Para santri akhir tingkat Aliyah sama berkumpul di ndalem, sebagaimana biasanya mereka akan berdoa bersama Yai Manshur untuk kelancaran dan kesuksesan ujian mereka.
“anak-anakku sekalian, usaha demi usaha telah kalian lalui, baik usaha lahir maupun batin, oleh karena itu sekarang kita hanya bisa tawakkal dan pasrah akan ketentuannya, namun kalian tidak boleh berputus asa begitu saja, pasti Allah akan memberikan sesuai dengan apa yang kalian inginkan dan seberapa besar harapan kalian terhadap apa yang kalian inginkan, nanti kalo kalian akan memjawab soal-soal itu jangan lupa baca solawat semoga yang jadi jawaban kalian itu yang benar” pesan beliau kemudian diteruskan dengan doa.
            Sesampai di sekolah sebelum ujian dilangsungkan terdapat upacara dan pembacaan tata tertib ujian, setelah itu para siswa menuju ke kelasnya masing-masing. Para pengawas ujian sudah mulai masuk ke kelas, tapi Maknun melihat ada yang aneh melihat salah satu pengawas yang keluar dari kantor MA, “itu bukannya Gus Ridlwan... apa beliau juga menjadi pengawas di sini, aduh...semoga saja nggak jaga di kelasku...” doanya dalam hati. Namun doanya kali ini meleset, karena beberapa menit kemudian Gus Ridlwan telah sampai dikelasnya. Maknun jadi salah tingkah sendiri, ia merasa tidak leluasa dengan kehadiran Gus Ridlwan dikelasnya, pasti nanti ia akan diawasi beneran.
“hus...hus...Maknun menoleh dong, aku nggak bisa nih...” bisik suara dari belakang. ia hanya diam
“Maknun ayo dong waktunya kurang setengah jam nih, aku masih dapat separuh” ia sudah nggak tahan dengan bisikan-bisikan itu, tak dihiraukannya Gus Ridlwan yang dari tadi tidak henti-hentinya memperhatikannya.
“nomor berapa...” ucapnya. Anak itu menyebutkan bebrapa nomor yang belum dijawab. Dengan menggunakan isyarat Maknun memberikan jawaban pada temannya. Tanpa sepengetahuannya Gus Ridlwan mendatangnya kemudian menegurnya
“kenapa pake garuk-garuk kepala segala... banyak kutunya...” ucap beliau mengagetkan. Tak ayal Maknun kaget mendengar ucapan beliau dengan maksud mengejek itu, kini beliau tepat berada disampingnya.
“he..he..he... ndak kok Gus, Cuma gatal tok...”
“makanya rambut itu di rawat, masak rambutnya cewek banyak kutunya...” ucap beliau serambi meninggalkan bangku Maknun. Ia akan jengkel banget kalo Gus Ridlwan udah mulai mengejeknya, pasti nggak mau tahu perasaan orang lain.
Beberapa bulan kemudian
            Hari Sabtu besok adalah Wisuda Sekolah MA Darut Taqwa, berarti sudah tinggal beberapa hari lagi mereka akan boyong dari pondok ini, rasanya berat banget harus meninggalkan pesantren dimana tempat mereka menuntut ilmu yang penuh dengan kenangan dan pengalaman. Para santri ada yang senang ada yang sedih akan meninggalkan pondok tercinta, tapi lebih banyak diantara santri akhir Aliyah boyong dari pada yang menetap dan meneruskan di pondok.
            Wisuda sudah di depan mata, dengan memakai seragam wisuda para santri menuju sekolah pagi-pagi banget. Abah dan Umi berjanji akan datang lebih awal karen beliau mendapat amanah untuk memberikan sambutan atas nama wali santri. Ketika akan berangkat menuju sekolah Maknun melihat Abah dan Umi sudah datang, ahirnya ia menghampiri orangtuanya dulu.
“Abah Umi...assalamu alaikum” sapanya
“wa alaikum salam...masya Allah anakku Maknun, Umi kangen banget sama kamu” ucapnya sambil mencium pipi anak bungsunya itu, kemudian salaman ke Abah dan Mas Irfan yang juga ikut menhadiri acara wisudanya...
“awas kalo nggak the best, ntar nikahan kamu nggak dirayain...” bisik Mas Irfan di telingan Maknun.
“ihh...jahat, nggak bakalan dong, pesta pernikahannya pasti dirayain”
“ada apa to Maknun, Irfan ngomong pake teriak-teriak segala...” ucap Abah menegur
Merekapun menuju ke ndalem Yai Manshur yang sudah ramai tamu dari tadi malam. Kemudian bersama-sama keluarga Yai Manshur dan Yai Thoha menghadiri acara wisuda. Ini adalah acara yang paling ditunggu-tunggu, yaitu pengumuman the best ten. Para wisudawan terlihat sangat tegang mendengarkan pengumuman tersebut. Pak Yusuf selaku WAKA MA Darut Taqwa yang membacakan pengumuman 10 siswa terbaik....
“terbaik ke 10 diraih oleh :
-          No. Induk :35870023
-          Nilai rata-rata : 7,84
-          TTL : Malang, 3 September 1990
-          Nama orangtua : H. M. Dahlan
-          Nama Siswa : M. Khoirul Anam
Para hadirin sama memberikan ouplos, mendengar nama salah satu siswa yang meriah terbaik ke sepuluh. Dan begitu seterusnya, sampai urutan paling atas nama Maknun tak juga disebutkan, ia jadi bimbang apabila bukan termasuk dalam kesepuluh terbaik itu.
“terbaik pertama di raih oleh :
-          No. Induk :35679009
-          Nilai rata-rata :8,76
-          TTL : Surabaya, 13 Maret 1990
-          Nama orangtua : KH. Thoha Adnan
-          Nama Siswa : Churin In Maknunah
Seluruh hadirin sama bertepuk tangan dengan meriah mendengar nama siswa yang meraih gelar the best one yang tak lain adalah seorang putri kiai. Yang tak kalah bangganya adalah seseorang yang dari tadi tak henti-hentinya memandangnya, mencoba mengirimkan sinyal-sinyal rindu yang tengah memenuhi seluruh relung hatinya, ia jadi bingung mau kasih hadiah spesial apa untuk istri tercintanya itu.
            Para santri sudah santri sowan di ndalem, ndalem terasa sumpek dan penuh, karena para wali santri dan santri tengah berbondong-bondong memenuhi ndalem. Terdengar suara tangis dan haru dimana-mana, karena kali ini adalah pertemuan terakhir mereka dalam kebersamaan, satu sama lain saling berpelukan dalam tangis, para santri-santri yang lain sama mengantarkan kepulangan para santri akhir dengan membawakan barang-barang mereka yang akan dibawa pulang.
“hiks..hiks...hiks...” dari tadi Maknun nggak henti-hentinya menangis sambil memeluk teman-temannya bergantian, ia tak kuat menahan haru dan sedih akan meninggalkan teman-teman sejawatnya. Apalagi dengan Shofi, mereka seperti tak ingin berpisah sudah dari tadi malam mereka menangis meratapi hari esok dan kini mereka akan benar-benar berpisah
“Mbak Shof...aku minta maaf atas semua kesalahannya selama ini, aku telah banyak merepotkannya, sampeyan yang dari awal menemaniku dan membimbingku di pondok ini sampai hari ini...” ucapnya dalam tangis
“aku juga Mbak Maknun, aku yang selama ini juga banyak salah denganmu, selalu merepotkan dan mengganggumu, semoga ini bukanlah akhir dari persahabatan kita, aku harap sampeyan yang akan menruskan pondok ini aku mohon jaga selalu ikatan persaudaran kita dan menjalin silaturahim pada seluruh santri...”
“itu pasti Mbak...aku tak kan pernah bisa melupakannya dan seluruh kebaikanmu selama ini padaku...”
            Dengan berat hati mereka pun berpisah, perpisahan lahir yang hanya memisahkan jasad mereka namun ikatan hati mereka tetap sama dan akan selalu ada sampai akhir hayat nanti, kenangan-kenangan dan pengalaman selama di pondok akan menjadi pegangan dan pijakan di kehidupan kelak, tak kan pernah bisa tinta mengores kenangang-kenangan itu. Serta ilmu-ilmu yang diberikan masyayikh akan sangat berarti dan berguna dikehidupan kelak, insya Allah.
            Maknun di panggil oleh Gus Ridlwan ke kamar. Dibukanya pintu itu pelan-pelan seakan tidak ingin ada orang yang tahu. Gus Ridlwan tengah menunggu di sana, beliau menyunggingkan senyum melihat sang pujaan hati kini tengah di hadapannya. Maknun ragu untuk melempar senyumnya untuk suaminya itu, ia masih canggung berada di tempat yang hanya mereka berdua yang tahu.
“kemarilah…” sapa beliau lembut sambil mengulurkan tangannya,seakan ingin menangkap Maknun, tapi ia memilih duduk di meja rias. Ia masih ingat peristiwa malam pertamanya itu, sungguh tak terduga.
“ada apa Gus memanggil saya…” ucapnya kemudian
“kenapa masih memanggilku dengan panggilan itu, status kita sekarang kan sudah suami istri, biasanya kalo istri itu memanggil suaminya Mass…atau sayaang… tapi kamu kok tetap sama saja…”. Maknun hanya tersenyum di goda suaminya seperti itu.
“hari ini aku akan ikut pulang kerumahmu… boleh ya…”
“kenapa harus izin dulu, bukankah rumahku juga rumah jenengan…”
“barangkali kamu masih keberatan kalo aku pulang ke rumahmu seperti waktu itu…”
“itu kan dulu…status kita sekarang kan sudah suami istri” ucapnya menitukan ucapan Gus Ridlwan. Gus Ridlwan geli mendengarnya.
“ya sudah kalo gitu, kita siap-siap dulu…”
“apa yang mau Mas bawa…” tanyanya kemudian. Gus Ridlwan tersenyum simpul, kemudian mereka beres-beres berdua. Maknun menata  barang-barang yang akan di bawa Gus Ridlwan.
            Maknun seperti kehujanan ucapan selamatdari mulai teman-teman, para wali santri atau wali murid, sekarang Yai Manshur dan Bunyai Hamidah juga tak ketinggalan mengucapkan selamat padanya, ia hanya tersenyum dan mengucapkan trimakasih. Baru kali ini ia di cium oleh ibu mertuanya itu dan di peluk begitu erat.
“hati-hati Nduk, yang baik sama suamimu,semoga kamu bahagia” bisik Bunyai di telinganya.
Kemudian mereka pulang.

# # # #
           
            Sesampainya di rumah tampak di wajah mereka kelelahan yang tak bias disembunyikan lagi, Maknun dan Gus Ridlwan segera menuju ke kamar dan berbaring disana. Abah dan Umi juga langsung istirahat tanpa beres-beres barang dulu, seperti biasanya. Entah Mas Irfan tak tahu keman perginya tuh orang, paling ke pondok putra.
Malam harinya
“Dik, aku belum kasih hadiah untukmu…”ucap Gus Ridlwan sambil berbaring di atas kasur.
“aku akan kasih kamu hadiah paling special, yang taka kan pernah kau lupakan selama hidup” Maknun jadi penasaran, kemudian mendekat ke Gus Ridlwan
“apaan…” tanyanya. Entah apa yang terjadi selanjutnya.
1 bulan kemudian
            Maknun merasa kurang enak badan, ia terus terusan kecapaian, padahal ia juga tak kerja terlalu keras, Cuma bantu-bantu Umi di rumah, tapi ia merasa kurang enak badan, badannya lemes, suka pusing dan agak mual. Sudah beberapa hari ia merasa seperti ini tapi ia tak hiraukan…
“aku kok rasanya kurang enak badan Mas, sering capek, lemas dan pusing-pusing…kenapa ya…” keluhnya
“kalo gitu ntar malam kita periksa aja…”
            Gus Ridlwan mengantarnya ke bidan dekat rumah Maknun. Tak lama kemudian Gus Ridlwan yang tengah duduk tenang di ruang tunggu tiba-tiba di panggil oleh bu bidan suruh masuk.
“anda suami dari ibu Maknun…” ucap bu bidan
“iya benar ada apa Bu dokter ya…apakah istri saya mengalami penyakit keras sehingga saya di suruh masuk…” tanyanya penasaran, ia kaget kenapa juga ia di suruh masuk kalo hanya periksa biasa. Maknun pun tidak ngomong apa-apa ia hanya diam dengan wajah begitu ceria.
“oh tidak pak…ibu Maknun tidak mengalami penyakit apapun…malah ini adalah berita gembira…karena anda kan segera menjadi ayah….”
“hah…’ ucapnya kaget masih belum percaya dengan apa yang barusan ia dengar “berarti istri saya hamil dok…” tanyanya lagi
“benar…apa yang dialami Bu Maknun adalah gejala awal kehamilan, jadi anada tenang saja, sekali lagi selamat…”
Merekapun keluar dari ruangan itu
“subhanallah Maknun kamu hamil…alhamdulillah akhirnya…kenapa begitu cepat….” Ucapnya takjub
“iya Mas…kita kan belum resepsi pernikahan, tapi aku hamil duluan gimana nih…orang-orang rumah pasti pada nertawain kita…” ucapnya dengan cemberut
“ngapain juga mereka nertawain kita, malah ini adalah kabar baik, jadi kita akan beri mereka keluarga baru…”
            Sepulang dari bidan Maknun dan Gus Ridlwan menceritakan apa yang tengah terjadi diantara mereka.
“duh…anak-anak muda, nggak sabar ya nunggu sampai walimah, malah sekarang sudah hamil duluan…” goda Umi gemas. Apalagi Abah yang dari tadi sudah tertawa melihat Maknun dengan nada ragu memceritakan kabar kehamilannya. Yang Gus Ridlwan malah tersenyum lebar, ia begitu senang mendengar kabar kehamilan Maknun.
“nggak usah sedih gitu, masak tahu berita hamil kamu kayak ketakutan gitu, acara pernikahan kamu nggak akan dibatalin kok…” ujar Umi kemudian. Kemudian keluarga dari Gus Ridlwan di beri tahu masalah ini, mereka juga sama tertawa dan gemira mendengar kabar kedua anaknya yang udah mau punya momongan padahal belum resepsi pernikahan
2 bulan kemudian
            Pernikahan pun berjalan dengan lancar dan meriah, kini mereka akan mengampu amanah dari kedua orang tuanya menjadi penerus ponpes Darut Taqwa. Semoga bahagia

           



                                                            Tammat bi maunatillahi al-karim al-wahhab alhamdulillah
                                                                            Ahad, 5 Juni 2011 M / 3 Rojab 1432 H
                                                                                    Aula ndalem Jam 0.25 WIB











    


[1] Ada apa? (bhs.jawa)
[2]patuh
[3]Manggil
[4] Panggilan untuk anak putri
[5] Menterjemah satu persatu kata-kata dalam kitab dengan tulisan pegon
[6] Kamu (panggilan untuk orang yang lebih tua/yang dihormati)
[7] Kamu (panggilan untuk orang yang lebih tua/yang dihormati)
[8] Ya trimakasih (bhs. Jawa)
[9] Makan bareng-bareng
[10] Ya tentu saja anaknya siapa…
[11] Lo anaknya siapa? Kok nggak mirip sama kamu kang?
[12] Ya jelas anakku, karuan ayahnya ganteng kok
[13] Sepertinya mirip ibunya, kalo cantik berarti mirip ibunya kang…
[14] Ya ini
[15] Baca kitab dan musyawaroh
[16] membingungkan
[17] Panggilan untuk anak laki-laki
[18] Tidak (jawa)
[19] Ya
[20] Datang (jawa)
[21] Duduk di bawah
[22] tidak
[23] bertepatan
[24] Ruwet
[25] pengertian
[26] menghadap
[27] Sangat banyak
[28] bepergian
[29] izin
[30] Udah nggak usah nangis
[31] Apa (jawa)
[32] berlipat
[33] ucapannya
[34] Maulid nabi SAW
[35] manggil
[36] Silahkan
[37] Sama sekali
[38] Panggil

1 komentar:

  1. Aslkm kak .. ceritanya menarik saya senang membacanya .. trmksih ya ☺☺☺

    BalasHapus